Menarik sekali jikalau kita terus menerus
belajar tentang fenomena apapun yang terjadi dalam hiruk-pikuk kehidupan ini.
Tidak ada salahnya kalau kita buat semacam target. Misalnya : hari ini kita
belajar tentang wajah.
Wajah? Ya, wajah. Karena masalah wajah bukan hanya
masalah bentuknya, tapi yang utama adalah pancaran yang tersemburat dari si
pemilik wajah tersebut.
Ketika pagi menyingsing, misalnya, tekadkan
dalam diri: "Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu
seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu seperti bagaimana?"
karena pastilah hari ini kita akan banyak bertemu dengan wajah orang per orang.
Ya, karena setiap orang pastilah punya wajah. Wajah istri, suami, anak,
tetangga, teman sekantor, orang di perjalanan, dan lain sebagainya. Nah, ketika
kita berjumpa dengan siapapun hari ini, marilah kita belajar ilmu tentang
wajah.
Pasti kita akan bertemu dengan beraneka macam
bentuk wajah. Dan, tiap wajah ternyata dampaknya berbeda-beda kepada kita. Ada
yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang
menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Lho, kok menakutkan? Kenapa? Apa
yang menakutkan karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang
hidungnya mungil tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghunjam,
tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.
Kalau hari ini kita berhasil menemukan
struktur wajah seseorang yang menenteramkan, maka cari tahulah kenapa dia
sampai memiliki wajah yang menenteramkan seperti itu. Tentulah, benar-benar
kita akan menaruh hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya,
nampak ingin sekali ia membahagiakan siapapun yang menatapnya. Dan sebaliknya,
bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf,
bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya
ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah.
Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat
ilmu; bengis dan ketus. Dan ini pun perlu kita pelajari.
Ambillah kelebihan dari wajah yang
menenteramkan, yang menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita, dan buang
jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak menenteramkan, dan yang tidak
menyejukkan.
Tidak ada salahnya jika kita evaluasi diri di
depan cermin. Tanyalah, raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang
ada diantara hamba-hamba Allah yang bibirnya di desain agak berat ke bawah.
Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah.
Subhanallaah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan
bisa jadi ladang amal bagi siapapun yang memilikinya untuk berusaha senyum
ramah lebih maksimal lagi.
Sedangkan bagi wajah yang untuk seulas senyum
itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, yaitu
untuk lebih ikhlas lagi. Karena senyum di wajah, bukan hanya persoalan
menyangkut ujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin tidak kita
membahagiakan orang lain? Ingin tidak kita membuat di sekitar kita tercahayai?
Nabi Muhammad SAW, memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang
yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas?
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW – bila ada orang yang menyapanya –
menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau.
Sesuai kadar kemampuannya.
Walhasil, ketika Nabi SAW berbincang dengan
siapapun, maka orang yang diajak berbincang ini senantiasa menjadi curahan
perhatian. Tak heran bila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi
atribut kemuliaan yang beliau contohkan. Dan itu ternyata berpengaruh besar
terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.
Adapun kemuramdurjaan, ketidakenakkan,
kegelisahan itu muncul ternyata diantara akibta kita belum menganggap orang
yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat
seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya,
ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca
koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan
kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh.
Tidak punya daya pancar yang kuat.
Orang karena itu, marilah kita berlatih diri
meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan. Tapi, mengambil
tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya, dan cari kuncinya
kenapa sampai seperti itu? Lalu praktekkan dalam perilaku kita sehari-hari.
Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!
Mudah-mudahan kita dapat mengutamakan orang
lain di hadapan kita, walaupun hanya beberapa menit, walaupun hanya beberapa
detik…semoga!
================================
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!