-->

Membincang Perayaan Tahun Baru Masehi di Antara Pro & Kontra

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Seperti biasa, setiap malam tanggal 31 Desember dalam penanggalan Masehi, sebagian besar umat manusia mempersiapkan diri untuk menyambut moment pergantian tahun. Begitu juga di malam tanggal 31 Desember 2012 ini, maka hampir semua umat manusia di penjuru bumi ini, sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai macam cara dan kondisi demi menyambut moment pukul 00.00 sebagai tanda berakhirnya tahun 2012 dan di mulainya tahun 2013 Masehi.
Kita bisa menyaksikan mulai dari kota-kota besar hingga di desa-desa terpencil, sebagian orang sibuk mempersiapkan kembang api, festival hiburan, miras, dan perlengkapan pendukung lainnya yang bersifat duniawi. Tapi di tempat lain, sebagian orang malah sibuk berzikir, membaca Alquran, melantunkan doa-doa pujian, serta segala aktifitas lainnya yang bersifat ukhrawi.
Lalu, sebenarnya apa sih Tahun Baru Masehi itu? Kenapa hampir setiap orang rela menguras uang, tenaga, dan waktu yang cukup banyak, hanya sekedar untuk merayakan moment pergantian tahun? Bagaimana sejarahnya?
Saya tertarik menulis tentang ini, karena saya menyaksikan banyak orang yang asyik merayakannya, tanpa mereka tahu esensi yang sebenarnya dari apa yang mereka rayakan. Mereka hanya sekedar ikut-ikutan, numpang bersorak ria, begadang semalam suntuk, tanpa peduli baik buruk dari apa yang mereka lakukan. Bahkan tidak sedikit orang yang ikut merayakannya adalah orang berpredikat muslim dan tinggal dilingkungan muslim pula.
Oleh karena itu, berikut ini saya mencoba menghimpun beberapa tulisan terkait perayaan Tahun Baru yang saya ambil dari beberapa situs di internet. Selamat menyimak…‼!
***
Sejarah Tahun Baru
Tahun baru adalah suatu perayaan di mana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Semua budaya yang mempunyai kalender tahunan mempunyai perayaan tahun baru. Seperti, budaya Islam namanya tahun baru Hijriyah, budaya Cina dan Tiongkok namanya Imlek, budaya Jawa namanya Saka, serta berbagai budaya-budaya lainnya di dunia.
Di Indonesia, tahun barunya jatuh pada tanggal 1 Januari karena Indonesia mengadopsi kalender Gregorian, sama seperti mayoritas negara-negara di dunia.
Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM oleh  Julius Caesar,  sesaat setelah ia dinobatkan sebagai kaisar Roma. Ia mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Pada tanggal 24 Februari 1582, atas usul dari Dr. Aloysius Lilius dari Napoli-Italia, dan disetujui oleh Paus Gregorius XIII, kalender Julius dimodifikasi dan diganti menjadi Kalender Gregorius atau Kalender Gregorian. Itu karena kalender Julius dinilai kurang akurat, sebab permulaan musim semi (21 Maret) semakin maju sehingga perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325 tidak tepat lagi. Lalu pada tahun 1582, Kamis-4 Oktober diikuti Jumat-15 Oktober.
Satu tahun dalam Kalender Julius berlangsung selama 365 hari 6 jam. Tetapi karena revolusi Bumi hanya berlangsung selama 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik, maka setiap 1 milenium, Kalender Julius kelebihan 7 sampai 8 hari (11 menit 14 detik per tahun). Masalah ini dipecahkan dengan hari-hari kabisat yang agak berbeda pada kalender baru ini. Pada kalender Julius, setiap tahun yang bisa dibagi dengan 4 merupakan tahun kabisat. Tetapi pada kalender baru ini, tahun yang bisa dibagi dengan 100 hanya dianggap sebagai tahun kabisat jika tahun ini juga bisa dibagi dengan 400. Misalkan tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan tahun kabisat. Tetapi tahun 1600 dan 2000 merupakan tahun kabisat.
Kalender Gregorian adalah kalender yang sekarang paling banyak dipakai di Dunia Barat. Penanggalan tahun kalender ini, berdasarkan tahun Masehi.
Awal tahun Masehi merujuk kepada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih karena itu kalender ini dinamakan menurut Yesus atau Masihiyah. Kebalikannya, istilah Sebelum Masehi (SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut. Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8. Penghitungan kalender ini dimulai oleh seorang biarawan bernama Dionysius Exiguus (atau "Denis Pendek") dan mula-mula dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.
Meskipun tahun 1 dianggap sebagai tahun kelahiran Yesus, namun bukti-bukti historis terlalu sedikit untuk mendukung hal tersebut. Dionysius Exiguus tidak memperhitungkan tahun 0 serta tahun ketika kaisar Augustus memerintah Kekaisaran Romawi menggunakan nama Oktavianus. Para ahli menanggali kelahiran Yesus secara bermacam-macam, dari 18 SM hingga 7 SM.
Sejarawan tidak mengenal tahun 0, tahun 1 M adalah tahun pertama sistem Masehi dan tepat setahun sebelumnya adalah tahun 1 SM. Dalam perhitungan sains, khususnya dalam penanggalan tahun astronomis, hal ini menimbulkan masalah karena tahun Sebelum Masehi dihitung dengan menggunakan angka 0, maka dari itu terdapat selisih 1 tahun di antara kedua sistem.

Pro dan Kontra
Dalam Islam, perayaan Tahun baru ini banyak menuai kontroversi. Sebagian pendapat mengatakan bahwa perayaan tahun baru itu hukumnya haram, sementara sebagaian lainya mengatakan tidak haram dan boleh-boleh saja. Keduanya memiliki alasan dan argumen masing-masing yang dijadikan sebagai landasan pendapatnya. Adapun kedua pendapat tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
1). Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
a). Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Kafir; Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya. Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke Eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa. Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
b). Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir; Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.”
c). Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat; Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam. Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.
d). Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah; Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal. Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun baru, adalah sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih. Maka hukumnya bid’ah bila khusus untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar’inya.
2). Pendapat yang Menghalalkan
Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikut-ikutan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti ritual orang kafir, maka tidak ada larangannya.
Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, departemen Agama RI dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Apakah liburnya umat Islam karena hari-hari besar kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar mereka?
Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.
Demikian juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.
Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.
Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya.
Demikianlah ringkasan singkat tentang perbedaan pandangan dari beragam kalangan tentang hukum umat Islam merayakan malam tahun baru.
3). Jalan Tengah Perbedaan Pendapat
Para ulama dengan berbagai latar belakang kehidupan, tentunya punya niat baik, yaitu sebisa mungkin berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, agar umat tidak terperosok ke jurang kemungkaran.
Salah satu bentuk polemik tentang masalah perayaan itu adalah ditetapkannya hari libur atau tanggal merah di hari-hari raya agama lain. Yang jadi perdebatan, apakah bila kita meliburkan kegiatan sekolah atau kantor pada tanggal 25 Desember itu, kita sudah dianggap ikut merayakannya?
Sebagian berpendapat bahwa kalau cuma libur tidak bisa dikatakan sebagai ikut merayakan, lha wong pemerintah memang meliburkan, ya kita ikut libur saja. Tapi niat di dalam hati sama sekali tidak untuk merayakannya.
Namun yang lain menolak, kalau pada tanggal 25 Desember itu umat Islam pakai acara ikut-ikutan libur, suka tidak suka, sama saja mereka termasuk ikut merayakan hari raya agama lain. Maka sebagian madrasah dan pesantren memutuskan bahwa pada tanggal itu tidak libur. Pelajaran tetap berlangsung seperti biasa.
Sekarang begitu juga, ketika pada tanggal 1 Januari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari libur nasional, muncul juga perbedaan pendapat. Bolehkah umat Islam ikut libur di tahun baru? Apakah kalau ikut libur berarti termasuk ikut merayakan hari besar agama lain?
Lalu muncul lagi alternatif, dari pada libur diisi dengan acara hura-hura, mengapa tidak diisi saja dengan kegiatan keagamaan yang bermanfaat, seperti melakukan pengajian, dzikir atau bahkan qiyamul lail. Anggap saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dan hasilnya sudah bisa diduga dengan pasti, yaitu akan ada kalangan yang menolak mentah-mentah kebolehannya. Mereka mengatakan bahwa pengajian, dzikir atau qiyamullaih di malam tahun baru adalah bid’ah yang diada-adakan, tidak ada contoh dari sunnah Rasulullah SAW.
Lebih parah lagi, ada yang bahkan lebih ektrem sampai mengatakan kalau malam tahun baru kita mengadakan pengajian, dzikir, atau qiyamul lail, bukan sekedar bid’ah tetapi sudah sesat dan masuk neraka. Wah…
Jadi semua itu nanti akan kembali kepada paradigma kita dalam memandang, apakah kita akan menjadi orang yang sangat mutasyaddid, mutadhayyiq, ketat dan terlalu waspada? Ataukah kita akan menjadi mutasahil, muwassi’, longgar dan tidak terlalu meributkan?
Kedua aliran ini akan terus ada sepanjang zaman, sebagaimana dahulu di masa shahabat kita juga mengenal dua karakter ini. Yang mutasyaddid diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan beberapa shahabat lain, sedang yang muwassa’ diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lainnya.<joe>
(Dari berbagai Sumber)

ASAL MULA KERAJAAN BINAMU (Bag. 3)

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




Persiapan Perang
Sombayya sangat murka atas keinginan rakyat Turatea untuk mendirikan kerajaan sendiri. Menurutnya ini sebuah pembangkangan. Tepatnya, sebuah pemberontakan terhadap otoritas Sombayya. Maka Ia berdiri dari singgasananya, membentak dan menendang utusan Turatea sambil berkata:
“Segera pulang…! Aku muak melihat kalian… Katakan pada Kare-mu, nanti kau akan merasakan sendiri akibatnya”. Hardik Sombayya kepada utusan Turatea, yakni Daenta Bontotangnga dan Gallarrang Embo.
Mendengar itu, kedua utusan segera meninggalkan istana Gowa dan bergegas pulang menuju Layu, tempat dimana mereka berkonsolidasi dan sebagai pusat pergerakan rakyat Turatea.
Di Layu, para pembesar dan tokoh-tokoh Turatea berkumpul dan berdiskusi tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, setelah pihak Gowa mengetahui rencana rakyat Turatea untuk mendirikan kerajaan otonom yang terbebas dari pengaruh Gowa.
Maka mereka mengadakan rapat akbar dengan melibatkan semua tokoh dan pembesar dari tujuh ke-Kare-an yang ada. Rapat dipimpin oleh Kare Layu, Nunneng didampingi orang tuanya, Pari’ba Daeng Nyento’. Rapat dilaksanakan di sebuah lapangan luas yang diberi nama: MAERO. Hadir pula ribuan rakyat Turatea untuk memberikan semangat dan keyakinan akan kemampuan mereka dalam membela dan mempertahankan jati diri.
Setelah beberapa usulan mengalir, baik dari Kare Balang maupun dari Kare Manjangloe serta dari pembesar kare-kare lainnya, maka Nunneng sebagai pimpinan rapat mengajukan beberapa poin penting terkait strategi perang untuk disepakati oleh peserta rapat. Adapun poin penting tersebut adalah sebagai berikut:
1). Sebagai Panglima Perang: Daenta Bontotangnga
2). Sebagai Ketua Bahan Makanan/Ekonomi: Daenta Punta Liku
3). Sebagai Ketua Peralatan/Bendahara: Daenta Bontoramba
4). Sebagai Ketua Penasehat/Hakim: Gallarrang Layu (Pari’ba Daeng Nyento’)
5). Panglima-Panglima Devisi:
Devisi I: Gallarrang Tonro Kassi dari ke-Kare-an Kalimporo
Devisi II: Gallarrang Embo dari ke-Kare-an Layu
Devisi III: Gallarrang Balang dari ke-Kare-an Balang
Devisi IV: Gallarrang Boyong dari ke-Kare-an Layu
Semua peserta rapat sepakat dengan usulan tersebut dan segera ditetapkan menjadi sebuah keputusan oleh Kare Layu, Nunneng.
Kemudian untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, Pari’ba sebagai Ketua Dewan Penasehat mengusulkan untuk masing-masing devisi segera mengatur pasukannya masing-masing. Semua pasukan menempati posnya masing-masing, dan sebagian pasukan devisi menjadi pasukan pertahanan ibukota yang berpusat di Layu. Selain itu, perlu juga membentuk pasukan cadangan, pasukan khusus dan pasukan pengintai dari pemuda pemudi Turatea yang terpilih, agar angkatan perang semakin mantap dan stabil.
Singkat cerita, usulan ketua dewan penasehat tersebut segera dilaksanakan oleh masing-masing panglima devisi. Mereka harus melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh. Mereka harus sadar bahwa lawan yang akan mereka hadapi adalah sebuah kerajaan besar dengan armada perang yang tangguh. Kemenangan yang diidamkan akan sulit diraih tanpa perjuangan dan tekad yang bulat. Mereka harus bersatu dalam prinsip: “Abbulo sibatang Accera sitongka-tongka”. Prinsip inilah yang akan menjadi pemantik gelora keberanian dan semangat juang rakyat Turatea itu sendiri.
Oleh karena itu, sebelum rapat ditutup, Nunneng berdiri menyampaikan pidato singkat untuk memberikan semangat dan keyakinan kepada hadirin…
“Hadirin sekalian, para pemuda pemudi Turatea harapan kami. Padamulah kuletakkan tugas membela dan mempertahankan martabat serta harga diri Butta Turatea ini. Kita tidak ingin diremehkan oleh siapapun juga. Meskipun tugas ini berat tapi jangan disia-siakan. Kupanggil kamu untuk menyatukan tekad menjaga kemungkinan terjadinya serangan dari Gowa”.
“Maeko erokko abbulo sibatang, accera sitongka-tongka. Marilah kita bersatu, satu ucapan, satu tindakan. Jangan kecewakan kami demi tumpah darah dan rakyat Turatea. Jangan khianati leluhurmu hanya karena suapan dari pihak lawan. Majulah pantang mundur sebelum berhasil, “Alleangi matea natappelaka siri’nu, ancuru’ buku-bukunnu tamaona pau-paunu”. Jangan jadi pengejut, lari dari tanggungjawab.
“Manna kammanne buluka lompona nidallekang, tena sukkara’ punna samaturukki”. Inilah harapanku kepadamu. Kami tekankan tugas ini dipundakmu, untuk dilaksankan dengan sebaik-baiknya. Selamat Berjuang…‼!”
Demikianlah Kare Layu mengakhiri pidatonya dan kembali duduk. Kemudian rapat akbar ini dibubarkan oleh Daenta Bontotangnga sebagai panglima perang, setelah memberikan arahan-arahannya kepada para pemuda Turatea…(Insya Allah berlanjut ke Bag. 4).

Stoples Kehidupan

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم





Seorang profesor berdiri di depan para mahasiswanya untuk memulai sebuah kuliah filsafat...

Di dalam kelas, sang Profesor mengambil sebuah sstoples kosong dan mulai mengisinya dengan bola-bola pingpong sampai penuh. Setelah itu, Ia bertanya kepada para mahasiswanya: “apakah kalian sepakat bahwa stoples ini telah penuh?” Para mahasiswa dengan serentak menjawab: “penuh…!”.

Kemudian profesor itu mengambil lagi sekantung kerikil kecil dan menuangkannya ke dalam stoples tersebut. Kerikil tersebut mengisi ruang-ruang di antara bola-bola tersebut. Ketika stoples tersebut kelihatan penuh, sang profesor kembali bertanya kepada para mahasiswanya: “apakah kalian sepakat bahwa stoples ini telah penuh?” Mahasiswanya pun mengatakan: Iya, kami sepakat…!

Tapi sang profesor tidak berhenti disitu. Ia lalu mengambil sekotak pasir dan menuangkannya ke dalam stoples sambil mengguncang-guncangkannya. Setelah pasir berhasil mengisi ruang-ruang kosong yang masih tersisa diantara bola dan kerikil tersebut, sang profesor bertanya lagi: “Kali ini, apakah stoples ini benar-benar sudah penuh?”
Para mahasiswa menjawab dengan suara bulat: "Ya"…

Tapi lagi-lagi sang profesor mengambil dua kaleng soda dari bawah meja dan menuangkan isinya ke dalam stoples tersebut, efektif mengisi ruang kosong di antara bola-bola, kerikil dan pasir.

Sebelum ada reaksi dari mahasiswanya, sang profesor berkata:"Sekarang, saya ingin kalian memahami bahwa stoples ini mewakili kehidupanmu. Bola-bola pingpong ini adalah hal-hal yang terpenting dalam hidupmu. Keluarga kalian, orangtua kalian, suami/istri kalian, anak-anak kalian, kesehatan kalian, dan hal-hal yang terpenting lainnya. Jika yang lain hilang dan hanya bola-bola itu yang masih tersisa, hidup kalian akan tetap penuh.

Kerikil adalah hal-hal penting lainnya tapi bukan yang  paling penting. Ia mewakili pekerjaan kalian, rumah kalian, mobil kalian dan hal-hal penting lainnya.
Sementara pasir hanyalah kebutuhan-kebutuhan kecil yang sesungguhnya tidak penting dalam hidupmu. Jika sekiranya kalian meletakkan pasir pertama kali ke dalam stoples, maka kalian telah menutup ruang untuk kerikil dan bola-bola itu."

"Hal yang sama berlaku untuk hidup. Jika kalian hanya menghabiskan seluruh waktu dan energi pada hal-hal kecil, kalian tidak akan memiliki ruang untuk hal-hal penting bagi kehidupan kalian."

"Perhatikanlah hal-hal yang sangat penting untuk kebahagiaanmu; Bermainlah dengan anak-anakmu; Luangkanlah waktu untuk pergi ke dokter dan menjaga kesehatan; Ajaklah pasanganmu keluar untuk rekreasi; Jagalah bola-bola itu, karena itu yang terpenting".

Salah satu muridnya mengangkat tangan dan bertanya: "Trus, dua kaleng soda itu menggambarkan apa, Prof?"
Sang profesor tersenyum, "Aku senang kau bertanya. Ini hanya untuk menunjukkan pada Anda, tidak peduli seberapa penuh hidup Anda, selalu ada ruang untuk beberapa kaleng soda, ruang untuk rehat sejenak, untuk beribadah dan bersujud pada Tuhan."

Tallu Cappa’: Falsafah Orang Makassar di Perantauan

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم





Merantau sudah menjadi kebiasaan kebanyakan orang Makassar, sejak dulu sampai sekarang. Selain dikenal sebagai perantau, orang Makassar juga sangat dikenal sebagai pelaut ulung.

Ada sebuah Kebiasaan yang dipegang oleh masyarakat Makassar yang juga sudah menjadi adat para orang tua ketika melepas anaknya pergi merantau. Ketika seorang anak telah memutuskan berangkat merantau, para orang tua tidak membekali anak-anaknya dengan uang ataupun harta benda sebagai bekal. Tapi cukup dengan 3 ujung atau dalam bahasa Makassar disebut: TALLU CAPPA’.


Apa itu Tallu Cappa’?

Dalam pappasang to riolo (pesan para leluhur) dikatakan: “Nia tallu cappa’ bokonna to lampaiyya, iyamintu: Cappa’ lila, Cappa’ laso, Cappa’ badi’. (Ada tiga ujung yang harus menjadi bekal bagi orang yang bepergian, yaitu ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik).

“Oe ana’… a’ngu’rangiko, nia’ antu tallu cappa nuerang (Duhai, anak, ingatlah selalu, ada tiga ujung yang harus kau bawa sebagai bekal) Kalo dikampungnya ko orang jaga baik-baik tiga ujung itu. Kau akan jadi untung atau merugi, tergantung bagaimana kau berperilaku dengan tiga ujung yang kau bawa.”

Tiga ujung yang menjadi bekal setiap orang Makassar ini sepintas terkesan vulgar dan sadis. Namun pada hakikatnya tidak demikian. Perantau Makassar dibekali dalam dirinya tiga ‘alat’ yaitu: lidahnya, kemaluannya, dan badiknya.

Lidah dan kemaluan sudah ada sejak lahir, sementara badik adalah diri kedua yang harus dimiliki setiap laki-laki Makassar saat mereka sudah baligh. Sampai pada pembahasan ini, dalam budaya Makassar dikenal pesan: “Teyai bura'ne punna tena na ammallaki badik” (Bukan laki-laki jika tidak memiliki badik), yang sering bersamanya, minimal ada tersimpan di rumahnya, miliknya.

Merantau bagi manusia Makassar berarti penaklukan, adaptasi, atau paling rendah bertahan di negeri orang dengan hidup tidak direndahkan. Tallu Cappa adalah tahapan dalam proses penaklukan, adaptasi atau bertahan tersebut. Dalam situasi apapun, ketiga ujung ini berperan menurut situasi dan kondisi.

Jika keadaan masih bisa diselesaikan atau dimenangkan dengan cara berucap atau berdiplomasi, sorongi lilanu (sorong lidahmu) dan menangkan hati mereka dengan ucapan santun dan ujaran lembut. Jika ini gagal, sorongi lasonu (sorong kemaluanmu) dengan kata lain kawini putri raja, ketua adat, atau mereka yang berpengaruh di negeri tersebut. Jika ini masih juga gagal, sorongi badi’nu (sorong badikmu), perangi, kuasai atau tundukkan mereka dengan perkelahian (pertempuran).

Budaya Tallu Cappa sangat dikenal di kalangan orang Makassar sebagai falsafah hidup, beriringan dengan budaya siri’ na pacce (rasa malu dan kesetiakawanan) baik di tanah adat sendiri, terlebih di negeri orang. Tallu Cappa digunakan di banyak aspek kehidupan: sosial, politik, maupun ekonomi.

Falsafah Tallu Cappa bukan hanya efektif dalam penyelesaian perkara atau masalah saja, tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga efektif digunakan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Makassar, ujung lidah diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup semua hal, baik kecerdasan emosional sampai kecerdasan spiritual, sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Sedangkan ujuang kemaluan, bisa diartikan bahwa dalam mencari jodoh, hendaklah mencari jodoh dari kalangan bangsawan, atau orang yang berpengaruh. Karena dengan demikian orang Makassar berharap memperoleh kedudukan dan peningkatan status sosial di tengah masyarakat.

Sementara ujung badik bermakna bahwa dalam pergaulan hendaklah menjaga harkat dan martabat sebagai orang Makassar yang menjunjung tinggi adat ‘Siri na Pacce’. Sekaligus bila menghadapi permusuhan, maka  di sinilah fungsi ujung yang terakhir, sebagai senjata pamungkas dan harga diri sebagai taruhan, keberanian pantang mundur ditunjukkan untuk dipertaruhkan, dengan catatan bahwa kita dalam posisi yang benar.

Dalam adat Makassar, harga diri adalah harga mati yang harus dibayar meskipun dengan nyawa sekalipun. Peneliti La Galigo, Prof. Dr. Nurhayati juga berpendapat bahwa keluwesan orang Makassar membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan masyarakat setempat. Orang Makassar di mana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.


Pangeran Makassar

Sebagai pengingat bagaimana Tallu Cappa itu melekat pada manusia Makassar, kisah heroik tentang seorang Pangeran Makassar bernama I Yandulu Daeng Mangalle adalah salah satu tauladan yang melegenda.

Sebagai salah satu putra dari Sultan Hasanuddin, yang setelah dikalahkan Belanda dan tidak setuju ditandatanganinya Perjanjian Bungaya oleh ayahandanya,  Daeng Mangalle pergi ke Siam dan meminta suaka kepada Raja Siam (sekarang Thailand). Permintaan suaka tersebut dikabulkan oleh Raja Narai. Bukan hanya diberi suaka, Daeng Mangalle (Lidah Perancis menyebutnya Daen Ma-Alee) beserta para pengikutnya diberikan tempat di ibukota raja yang kelak dikenal sebagai Makkasan. 

Namun terjadi konfrontasi politik perebutan kekuasan antar bangsawan Raja Siam ketika itu, yang melibatkan Daeng Mangalle. Singkat cerita, peperangan dahsyat terjadi. Pasukan Makassar yang dipimpin Daeng Mangalle tidak bersedia meminta ampun pada Siam, sehingga ia dan ratusan pengikutnya dihancurkan oleh pasukan Raja. Meskipun tumpas, karena jumlah mereka jauh lebih sedikit ternyata dapat membuat repot ribuan pasukan Siam dan sekutunya Perancis. 

Daeng Mangalle gugur. Seorang pendeta Perancis mengabadikan  gugurnya Daeng Mangalle bersama prajurit Makassar dalam sebuah catatannya. Menurut sang pendeta keberanian tentara Makassar hampir-hampir tidak masuk di akal.

Pendeta itu menulis, seumur hidupnya, baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Makassar. Saat itu, seorang prajurit Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Perancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet bertubi-tubi. Seorang tentara Perancis menendang-nendang kepala prajurit Makassar yang tengah menghadapi sekaratul maut itu. Tiba-tiba saja prajurit Makassar itu bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir. “Tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian,” tulis sang pendeta.

Kekaguman Raja Siam terhadap keberanian Daeng Mangalle, menjadikan dua putranya, yakni Daeng Tulolo dan Daeng Ruru, diampuni Raja Siam dan dibawa oleh Kapten tentara Perancis menghadap raja dan menetap di Perancis. Kedua pangeran Makassar itu dikirim ke sekolah akademi elit tentara di Perancis. Daeng Ruru kemudian berganti nama menjadi Louis Pierre de Macassart, sementara Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin. Mereka dibaptis tanggal 7 Maret 1687 oleh uskup kota Le Mans dengan ayah baptis Raja Louis. <joe>

Prosesi Pernikahan Ala Adat Makassar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




Pernikahan merupakan bagian terpenting dan dianggap sakral dalam kehidupan manusia yang beradab. Masyarakat Makassar meyakini bahwa, pernikahan adalah wadah tempat bersatunya dua keluarga besar.

Maka tidak mengherankan apabila pesta pernikahan dalam tradisi masyarakat  harus melibatkan seluruh keluarga besar dari kedua mempelai. Mulai dari saudara, kakak dan adik, paman dan bibi, serta para sesepuh seluruhnya ikut terlibat dalam mempersiapkan pernikahan bagi si mempelai. Selain melibatkan seluruh keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai, tata cara upacara pernikahan adat Makassar juga harus melalui berberapa tahapan yaitu:

A'jangang-jangang
Dalam tahapan ini keluarga calon mempelai laki-laki melakukan penyelidikan secara diam-diam untuk mengetahui latar belakang dan keadaan pihak calon mempelai wanita.


Assuro
Tahap kedua adalah assuro yaitu acara pinangan atau lamaran. Dalam cara ini  secara resmi pihak calon mempelai pria menyatakan keinginannya kepada calon mempelai wanita. Di jaman dahulu, proses lamaran ini membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan melalui beberapa fase sebelum mencapai kesepakatan.


Appa'nassa
Selanjutnya setelah acara pinangan, dilakukan appa'nassa yaitu kedua belah pihak keluarga menentukan hari pernikahan. Dalam fase ini, juga diputuskan mengenai besarnya uang belanja yang harus disiapkan oleh keluarga calon mempelai laki-laki. Adapun besarnya uang belanja ditentukan menurut golongan dan status sosial dari sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.

Appanai’ Leko Lompoa 
Cara ini dilakukan setelah pinangan diterima secara resmi, prosesi ini sama dengan prosesi pertunangan di daerah lain. Dalam tradisi Makassar, acara ini disebut A'bayuang, prosesinya berupa pengantaran passikko’ atau pengikat oleh keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai wanita, biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passikko’ diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Ca’di. Namun karena pertimbangan waktu dan kesibukan, di jaman sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Appa'nassa.

A'barumbung
Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita. Biasanya berlangsung selama tiga hari.

Appasili Bunting
Sebelum acara ini dilakukan, keluarga calon mempelai wanita membuatkan tempat khusus berupa gubuk siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan rumah atau pada tempat yang telah disepakati bersama oleh anggota keluarga. Rangkaian dari upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting dilakukan sekitar pukul 09.00 – 10.00 pagi. Pemilihan waktu itu memiliki maksud agar calon mempelai wanita berada dalam kondisi yang segar bugar. Calon mempelai memakai busana yang baru/baik dan ditata sedemikian rupa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya.

Alat/Bahan yang Digunakan
Beberapa alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:
•  Pammaja’ besar/Gentong.
•  Gayung/tatakan pammaja’.
•  Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.
•  Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.
•  Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah 
    bakul.
•  Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan 
    batang.
•  Kelapa tunas. 
•  Gula merah.
•  Pa’dupang.
•  Leko’ passili. 

Prosesi Acara Appassili
Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di depan pelaminan. Lalu calon mempelai dituntun ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat yang dipegang oleh empat orang gadis bila calon mempelai wanita dan empat orang laki-laki jika calon mempelai pria. Prosesi dimulai diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja ataugentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing orang yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

A’bubu
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya   hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.

Appakanre Bunting
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde/ Umba-umba, Bolu Peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo. Acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh  orang tua calon mempelai, ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami.

Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
•  Pelaminan (lamming);
•  Bantal;
•  Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
•  Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
•  Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun 
    pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
•  Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan 
    (daun pacar) yang ditumbuk halus;
•  Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan 
    minyak hingga mekar;
•  Unti Te’ne (Pisang Raja);
•  Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
•  Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).

Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya. Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.

Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon mempelai. 

Assimorong
Acara ini dilaksanakan di rumah mempelai wanita, dan merupakan acara akad nikah serta menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong. Calon mempelai pria diantar oleh dua rombongan keluarga pria, dengan komposisi:

(1). Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari: Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories untuk calon pengantin wanita; Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain.

(2). Perangkat adat, yang terdiri dari: Seorang laki-laki pembawa tombak; Tiga orang anak kecil pembawa ceret; Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar); Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat); Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.

(3). Menyusul rombongan calon mempelai pria, yang terdiri: Rombongan orang tua; Rombangan saudara kandung; Rombongan sanak keluarga; Rombongan undangan.

Di masa sekarang, Assimorong dan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan) dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.

Keluarga calon mempelai wanita lalu keluar menjemput kedatangan rombongan calon mempelai pria, dengan komposisi sebagai berikut:
• Dua pasang sesepuh dari calon mempelai wanita keluar menjemput  calon mempelai pria dan memegang Lola menuntun calon pengantin pria memasuki rumah calon pengantin wanita; 
• Seorang ibu yang bertugas menaburkan benno (sejenis pop corn dari beras) ke calon pengantin pria saat memasuki gerbang kediaman calon pengantin wanita.
• Penerima erang-erang atau seserahan.
• Penerima tamu.

Prosesi acara Assimorong
Setelah calon pengantin pria beserta rombongan tiba di sekitar kediaman calon pengantin wanita, seluruh rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika calon pengantin pria telah siap di bawa Lellu, sesepuh dari pihak calon pengantin wanita datang menjemput dengan mengapit calon pengantin pria dan menggunakan Lola menuntun calon pengantin pria menuju gerbang kediaman calon pengantian wanita. Saat tiba di gerbang halaman, calon pengantin pria disiram dengan Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga calon pengantin wanita. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu calon pengantian pria beserta rombongan memasuki kediaman calon pengantin wanita untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin kepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan Qobul.

Appabajikang Bunting
Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita, pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh anrong bunting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appala’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.

Allekka’ bunting
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.

(Sumber: http://majalahversi.com)