-->
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Turatea. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Turatea. Tampilkan semua postingan

KERAJAAN BINAMU: Sebuah Catatan Singkat

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Pada tulisan terdahulu diceritakan bahwa setelah persekutuan KARE di Turatea berhasil memenangkan pertempuran dengan Kerajaan Gowa, dan setelah Kerajaan Binamu terbentuk berkat dari hasil kesepakatan dengan Sombayya Ri Gowa, maka persoalan yang tersisa tinggal satu, yaitu siapa kira-kira yang pantas memakai mahkota pertama Kerajaan Binamu.
Oleh karena itu, Kare Layu sebagai ketua dari tujuh persekutuan  ke-kare-an segera mengutus Boto Cabiri dan Boto Jombe untuk mencari calon raja sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Mula-mula mereka di suruh ke Boyong, setelah itu ke Balang, kemudian ke Tolo’ dan Rumbia, dan terakhir di Manynyumbeng.
Sesuai hasil penilaian para utusan, empat tokoh dari empat tempat yang didatangi pertama yakni Boyong, Balang, Tolo, dan Rumbia, tidak bisa menjadi Raja di Binamu karena caranya menghadapi tamu yang kurang bijaksana dan cenderung tergesa-gesa. Maka pilihan jatuh pada Gaukang Dg. Riolo, tokoh dari Manynyumbeng yang berbudi pekerti luhur, dermawan, berjiwa besar, agak pendiam, dan sabar dalam menghadapi setiap problema yang dihadapinya.
Setelah segala sesuatu yang berhubungan dengan acara pelantikan “kakaraengan” sudah dipersiapkan secara matang, maka dijemputlah Gaukang Dg Riolo di kediamannya untuk dibawa ke Layu menjalani prosesi pelantikan raja sesuai prosedur yang sudah disepakati. Hadir pula beberapa undangan dalam acara tersebut yakni Raja Gowa, Raja Luwu, Raja Suppa, dan Raja Bone, serta tokoh-tokoh dari tujuh persekutuan ke-kare-an di Turatea bersama rakyatnya. Acara pelantikan berjalan selama tujuh hari tujuh malam.
Sekedar diketahui bahwa Gaukang Dg Riolo sebenarnya adalah salah seorang keturunan dari Pari’ba Dg Nyento. Beliau putra dari anak Pari’ba yang kawin ke Manynyumbeng. Artinya, beliau tidak lain adalah salah seorang cucu Pari’ba selain cucu-cucunya yang lain yang tersebar di Boyong, balang, Tolo, dan Rumbia. Oleh karena itu, dilihat dari segi keturunan dan status sosial di Turatea, beliau memang pantas menduduki takhta Kerajaan Binamu, dan tentu saja didukung dengan sikap dan kepribadian yang luhur dan bijaksana.
Setelah pelantikan Gaukang Dg Riolo usai, maka serta merta berakhirlah bentuk pemerintahan KARE di Turatea dan dimulailah pemerintahan Kerajaan BINAMU. Sebagai raja pertama, beliau diberi gelar “KARAENG LOMPOA RI BINAMU” (Maha Raja Binamu).
Sebagai langkah awal dalam pemerintahannya, beliau membentuk beberapa lembaga untuk mendukung kerajaannya diantaranya:
  • Lembaga Pertahanan Kerajaan (panglima perang): Daenta Bonto Tangnga
  • Lembaga Pengadaan Pangan (ekonomi): Daenta Balumbungan
  • Lembaga Kesejahteraan/Sosial: Gallarang Embo
  • Dewan Penasehat (Agama): Boto Cabiri
  • Dewan Hakim: Boto Jombe
Selain itu, Gaukang Dg Riolo juga mengadakan beberapa perubahan istilah, dari Daenta dan Gallarang menjadi Karaeng, tetapi tugas dan kedudukannya tetap sama. Seperti: Daenta Bonto Tangnga diubah menjadi Karaeng Bonto Tangnga, Daenta Bontoramba menjadi Karaeng Bontoramba, Gallarang Paitana menjadi Karaeng Paitana, dan sebagainya.
Kerajaan Binamu memiliki beberapa kerajaan bawahan (karaeng palili’), diantaranya:
  • Gallarang di Balang
  • Karaeng di Tolo’
  • Karaeng di Paitana
  • Karaeng di Empoang
  • Karaeng di Bontoramba
  • Karaeng di Balumbungan, dsb…
Untuk Kerajaan Arungkeke, Tarowang, dan Bangkala, ketiganya merupakan kerajaan tersendiri yang otonom sejajar dengan kerajaan Binamu di Butta Turatea. Mereka tidak saling membawahi tapi tetap saling berinteraksi dan saling berbagi karena faktor kesamaan bahasa, budaya, tradisi, dan adat istiadat satu sama lain.
Adapun  raja-raja yang pernah memerintah di kerajaan Binamu secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
  1. Raja ke 1          : Gaukang Dg Riolo (memerintah tahun 1607 M-1631 M)
  2. Raja ke 2          : Bakiri Dg Lalang (memerintah tahun 1631 M-1660 M)
  3. Raja ke 3          : Paungga Dg Gassing (memerintah tahun 1660 M-1678 M)
  4. Raja ke 4          : Datu Mutara (memerintah tahun 1678 M-1696 M)
  5. Raja ke 5          : Lapalang Dg Masse (memerintah tahun 1696 M-1713 M)
  6. Raja ke 6          : Patakkoi Dg Ngunjung (memerintah tahun 1713 M-1731 M)
  7. Raja ke 7          : Jakkolo  Dg Rangka (memerintah tahun 1731 M-1747 M)
  8. Raja ke 8          : Pa’dewakkang Dg Lurang (memerintah tahun 1747 M-1763 M)
  9. Raja ke 9          : Ironggo Dg Bani (memerintah tahun 1763 M-1780 M)
  10. Raja ke 10         : Sanre Dg Nyikko (memerintah tahun 1780 M-1796 M)
  11. Raja ke 11         : Bebas Dg Lalo (memerintah tahun 1796 M-1814 M)
  12. Raja ke 12         : Badullah Dg Tinggi (memerintah tahun 1814 M-1834 M)
  13. Raja ke 13         : Palanrangi Dg Liu (memerintah tahun 1834 M-1852 M)
  14. Raja ke 14         : Patima Dg Sakking (memerintah tahun 1852 M-1869 M)
  15. Raja ke 15         : Itia Dg Ni’ni (memerintah tahun 1869 M-1884 M)
  16. Raja ke 16         : Mattewakkang Dg Jungge (memerintah tahun 1884 M-1900 M)
  17. Raja ke 17         : Sanre Dg Nyikko (memerintah tahun 1900 M-1911 M)
  18. Raja ke 18         : Langke Dg Lagu (memerintah tahun 1911 M-1921 M)
  19. Raja ke 19         : Ilompo Dg Radja (memerintah tahun 1921 M-1923 M)
  20. Raja ke 20         : Maggau Dg Sanggu (memerintah tahun 1923 M-1929 M)
  21. Raja ke 21         : Mattewakkang Dg Radja (memerintah tahun 1929 M-1946 M)
Demikian susunan raja-raja di kerajaan binamu mulai dari pertama kali terbentuk hingga berakhirnya kerajaan binamu itu sendiri. Wassalam. <joe>

TODDO APPAKA: Dewan Adat Kerajaan Binamu

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Dulu di Jeneponto, pernah terbentuk sebuah lembaga legislatif yang berfungsi sebagai wadah penyalur aspirasi bagi rakyatnya. Lembaga ini bertugas untuk membantu raja dalam menjalankan pemerintahan dan memberikan pertimbangan dan nasihat ketika raja membutuhkannya. Lembaga ini dikenal dengan sebutan TODDO APPAKA (Dewan Adat yang Empat) karena jumlahnya ada empat, yakni Toddo Layu di Layu, Toddo Bangkala di Bangkala Loe, Toddo Lentu’ di Lentu’, dan Toddo Batujala di Batujala. Di Gowa, lembaga ini lebih dikenal dengan istilah BATE SALAPANG (Dewan Adat Sembilan).
Konon, Toddo Appaka dibentuk pada tahun 1678 M oleh Raja Binamu ke IV, yaitu Datu Mutara, suami dari Lo’mo Sunni Dg. Memang (adik dari Paungga Dg. Gassing, Raja Binamu ke III). Lo’mo Sunni yang merupakan putri dari Raja Binamu ke II yakni Bakiri Dg. Lalang ini, menikah dengan Datu Mutara adalah untuk mempererat hubungan bilateral antara Kerajaan Binamu dengan Kerajaan Gowa, karena Datu Mutara sendiri merupakan salah seorang dari keturunan Raja Gowa.
Pembentukan Toddo Appaka (Dewan Adat) ini, bisa jadi terinspirasi dari Dewan Adat Bate Salapang, yang sudah terbentuk jauh-jauh sebelumnya di Butta Gowa. Atau pun bisa jadi karena memang kondisi masyarakat Turatea pada saat itu, yang mengharuskan dibentuknya sebuah lembaga untuk menyalurkan aspirasi masyarakat ke rajanya, agar kebutuhan masyarakat dan masalah-masalah yang terjadi dapat cepat terselesaikan.
Selanjutnya, Toddo ini mempunyai wewenang untuk membuat sejumlah aturan yang harus dijalankan oleh pihak kerajaan, berhak menentukan dan memilih calon raja, berkuasa memberhentikan rajanya apabila melanggar aturan, dan tentu saja sebagai wadah menyalur aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada raja melalui sidang.
Dalam menjalankan tugasnya, ke empat Toddo ini (diketuai oleh Toddo Layu) lebih menitikberatkan perhatiannya pada pembangunan dan kemajuan eksistensi kerajaan, stabilitas kehidupan masyarakat, keadilan, peningkatan pendidikan dan agama, serta kesejahteraan masyarakat Butta Turatea itu sendiri.
Adapun nama-nama Toddo beserta orang yang dipercaya memangku jabatannya adalah sebagai berikut:
No
Toddo Layu
Toddo Bangkala
Toddo Lentu’
Toddo Batujala
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Na’na
Tungka
Bagga
Lollah
Laccu’
Jakkolo
Jaleko
Santa
Mangngakkasang
Patto
Manggappa
Tanjeng Dg. Ngada
Tannikulle Dg. Nanggung
Rantu
Simbung Dg. Pato
Rampasang Dg. Rewa
Radja Dg. Nyarrang (1)
Su’ru Dg. Tinggi
Patte Dg. Naro
Radja Dg. Nyarrang (2)
Passukku Dg. Beta
Manangga
Manurung
Salamung
Mangngani
T o n a
Manggappa
B a g o
Lawarri
Manriakki
Patiadang
Radeng
T a g o
M a’ g u
B a d i (1)
L o k o
B a d i (2)
Sangngaji
Badullah
S i n a i
P a s i
P a t a u
P a t t a (1)
Tahere’
P a t t a (1)

Lihong
P a t t o
Mappare’
S a n t a
Manggayungi
Manessa (1)
Ruma
Manessa (1)
Muhammad
Demikianlah dewan adat yang pernah ada di Jeneponto, ketika pada saat itu Jeneponto masih bernama Turatea. Semoga bermanfaat…! <joe>

(Disarikan dari Buku Tiga Ungkapan Sejarah Turatea, oleh Andi Zainuddin Suwaib).

ASAL MULA KERAJAAN BINAMU (Bag. 4 Habis)

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Pertempuran Meletus
==================
Genderang perang pun ditabuh. Pihak Turatea yang dari awal sudah menyadari akan kehebatan prajurit Gowa, mulai menempatkan prajuritnya di pos-pos yang telah ditentukan. Divisi I yang bertugas di gunung Se’rukang segera membagi pasukannya menjadi tiga bagian dan menempatkannya masing-masing: di sebelah utara gunung Se’rukang sebanyak 600 personil, sebelah selatan 600 personil, dan disebelah barat sebanyak 800 personil.
Begitu juga divisi-divisi lainnya, segera menempati posnya masing-masing. Ada divisi yang berjaga di Marayoka, sementara divisi lainnya bertugas di gunung Maya. Di samping itu, ada juga divisi yang bertugas menjaga pusat pertahanan yakni, Istana Layu, serta beberapa pasukan pengintai yang ditugaskan ke wilayah pantai untuk mencari informasi kedatangan pasukan Gowa di bagian pesisir.
Di Se’rukang, pasukan Turatea mengorganisasikan diri secara rapi dan terselubung, sehingga ketika pasukan Gowa datang, mereka tidak menyadari keberadaan mereka. Dan ternyata strategi ini berhasil, karena pasukan Gowa yang sudah berada di wilayah Se’rukang tidak menyadari akan bahaya yang mengancam. Mereka bermaksud menjadikan gunung Se’rukang sebagai kubu pertahanan untuk menyerang Layu, tapi toh mereka salah strategi.
Ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba pasukan Turatea atas perintah panglima divisi, menyerang dengan sengit dan sporadis. Serangan yang tak diduga ini menyebabkan pasukan Gowa kaget bukan kepalang. Mereka tidak sempat menyusun kekuatan dengan baik, sementara serangan yang mereka terima benar-benar di luar dugaan. Akhirnya mereka terpaksa bertempur meskipun tanpa strategi yang matang.
Beberapa saat kemudian, pasukan Gowa terjepit. Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata pasukan Turatea, bukan hanya yang mereka lawan saat ini. Tapi dari arah utara dan selatan gunung Se’rukang, muncul sekelompok pasukan mengepung pasukan Gowa yang mulai kewalahan. Mereka kocar-kacir. Dan dengan sisa-sisa pasukan yang ada, mereka bergerak ke arah utara untuk menyelamatkan diri. Mereka bermaksud ingin bergabung dengan pasukan Gowa lainnya yang berada di Marayoka.
Tapi belum sempat mereka bergabung, pasukan Turatea yang ada di Marayoka yang berjumlah 1000 personil menghadang mereka. Pertempuran kembali berkecamuk. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, mereka bertempur mati-matian melawan pasukan Turatea yang kian bersemangat. Dan benar-benar nasib sial bagi pasukan Gowa. belum sempat mereka kalahkan pasukan Marayoka, tiba-tiba muncul pasukan dari Se’rukang, yang ternyata masih mengadakan pengejaran terhadap pasukan Gowa yang lari tersebut. Bersatu dengan pasukan marayoka, sehingga pada akhirnya pasukan Gowa di Marayoka menyerah karena sudah tak berdaya. Mereka ditawan dan dipasung disana.
Sementara di tempat lain, di gunung Maya. Pertempuran pun begitu sengit. Pasukan Gowa yang bergerak ke gunung Maya, disambut oleh pasukan Turatea yang bermarkas disitu. Mayat-mayat bergelimpangan di kedua belah pihak. Tak satupun yang mau menyerah. Hingga pada akhirnya, pasukan Gowa di gunung Maya merasa kewalahan dan menyerah, karena disamping mereka menghadapi pasukan yang bermarkas disitu, mereka juga menghadapi pasukan dari Se’rukang dan Marayoka yang segera bergabung bersama-sama setelah berhasil mengalahkan pasukan Gowa di Marayoka.
Di tempat lainnya lagi, di pesisir pantai di waktu malam. Sekelompok pasukan Gowa dengan jumlah personil yang tidak kurang dari 2000 pasukan, berlabuh disana. Pasukan pengintai yang melihat itu, segera melapor ke Istana Layu sebagai pusat pergerakan. Panglima perang Turatea, Daenta Bontongnga, segera meresponnya dengan cepat. Oleh karena itu, sebanyak 2000 personil dikirim ke wilayah pesisir untuk membendung bergerakan pasukan Gowa.
Pertempuran di wilayah pesisir pun terjadi. Karena pertemuran terjadi di malam hari, maka pasukan Turatea memakai kain putih dilehernya sebagai tanda pengenal. Pertempuran kian seru. Kedua belah pihak saling serang, saling teriak, dan saling membunuh. Perahu-perahu Gowa banyak yang hancur. Darah dan mayat bergelimpangan dimana-mana hingga pertempuran berlangsung di siang hari.
Semakin lama bertempur, pasukan Turatea kian bertambah sementara pasukan Gowa kian berkurang. Hal ini menyebabkan pasukan Gowa kewalahan. Bantuan pasukan di darat yang mereka harapkan tidak pernah terwujud karena ditumpas terlebih dahulu oleh pasukan Turatea. Terpaksa mereka menyerah dan sisa-sisa pasukan yang mereka miliki dijadikan tawanan perang oleh pihak pasukan Turatea.
Dengan menyerahnya pasukan Gowa, baik yang di darat maupun di pantai, maka berakhirlah peperangan dengan menyisakan kerugian besar di kedua belah pihak, terutama pihak Gowa sebagai pihak yang kalah perang. Tapi meskipun perang berakhir, permusuhan masih tetap berlangsung lama hingga beberapa bulan kemudian.
Tapi setahun kemudian, diadakanlah perjanjian damai kedua belah pihak. Pasukan Gowa yang ditahan di Layu dikembalikan ke Gowa, dan Turatea sudah bebas membentuk kerajaan sendiri sebagaimana yang diperjuangkan selama ini, yaitu KERAJAAN BINAMU.
Begitulah… Kerajaan Binamu yang bersumber dari kare Layu telah terbentuk. Sebuah kerajaan otonom dan berdiri sendiri, tanpa harus mengabdi ke Gowa dan mengikuti kehendak Sombayya ri Gowa lagi. sekian…<joe>

ASAL MULA KERAJAAN BINAMU (Bag. 3)

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




Persiapan Perang
Sombayya sangat murka atas keinginan rakyat Turatea untuk mendirikan kerajaan sendiri. Menurutnya ini sebuah pembangkangan. Tepatnya, sebuah pemberontakan terhadap otoritas Sombayya. Maka Ia berdiri dari singgasananya, membentak dan menendang utusan Turatea sambil berkata:
“Segera pulang…! Aku muak melihat kalian… Katakan pada Kare-mu, nanti kau akan merasakan sendiri akibatnya”. Hardik Sombayya kepada utusan Turatea, yakni Daenta Bontotangnga dan Gallarrang Embo.
Mendengar itu, kedua utusan segera meninggalkan istana Gowa dan bergegas pulang menuju Layu, tempat dimana mereka berkonsolidasi dan sebagai pusat pergerakan rakyat Turatea.
Di Layu, para pembesar dan tokoh-tokoh Turatea berkumpul dan berdiskusi tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, setelah pihak Gowa mengetahui rencana rakyat Turatea untuk mendirikan kerajaan otonom yang terbebas dari pengaruh Gowa.
Maka mereka mengadakan rapat akbar dengan melibatkan semua tokoh dan pembesar dari tujuh ke-Kare-an yang ada. Rapat dipimpin oleh Kare Layu, Nunneng didampingi orang tuanya, Pari’ba Daeng Nyento’. Rapat dilaksanakan di sebuah lapangan luas yang diberi nama: MAERO. Hadir pula ribuan rakyat Turatea untuk memberikan semangat dan keyakinan akan kemampuan mereka dalam membela dan mempertahankan jati diri.
Setelah beberapa usulan mengalir, baik dari Kare Balang maupun dari Kare Manjangloe serta dari pembesar kare-kare lainnya, maka Nunneng sebagai pimpinan rapat mengajukan beberapa poin penting terkait strategi perang untuk disepakati oleh peserta rapat. Adapun poin penting tersebut adalah sebagai berikut:
1). Sebagai Panglima Perang: Daenta Bontotangnga
2). Sebagai Ketua Bahan Makanan/Ekonomi: Daenta Punta Liku
3). Sebagai Ketua Peralatan/Bendahara: Daenta Bontoramba
4). Sebagai Ketua Penasehat/Hakim: Gallarrang Layu (Pari’ba Daeng Nyento’)
5). Panglima-Panglima Devisi:
Devisi I: Gallarrang Tonro Kassi dari ke-Kare-an Kalimporo
Devisi II: Gallarrang Embo dari ke-Kare-an Layu
Devisi III: Gallarrang Balang dari ke-Kare-an Balang
Devisi IV: Gallarrang Boyong dari ke-Kare-an Layu
Semua peserta rapat sepakat dengan usulan tersebut dan segera ditetapkan menjadi sebuah keputusan oleh Kare Layu, Nunneng.
Kemudian untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, Pari’ba sebagai Ketua Dewan Penasehat mengusulkan untuk masing-masing devisi segera mengatur pasukannya masing-masing. Semua pasukan menempati posnya masing-masing, dan sebagian pasukan devisi menjadi pasukan pertahanan ibukota yang berpusat di Layu. Selain itu, perlu juga membentuk pasukan cadangan, pasukan khusus dan pasukan pengintai dari pemuda pemudi Turatea yang terpilih, agar angkatan perang semakin mantap dan stabil.
Singkat cerita, usulan ketua dewan penasehat tersebut segera dilaksanakan oleh masing-masing panglima devisi. Mereka harus melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh. Mereka harus sadar bahwa lawan yang akan mereka hadapi adalah sebuah kerajaan besar dengan armada perang yang tangguh. Kemenangan yang diidamkan akan sulit diraih tanpa perjuangan dan tekad yang bulat. Mereka harus bersatu dalam prinsip: “Abbulo sibatang Accera sitongka-tongka”. Prinsip inilah yang akan menjadi pemantik gelora keberanian dan semangat juang rakyat Turatea itu sendiri.
Oleh karena itu, sebelum rapat ditutup, Nunneng berdiri menyampaikan pidato singkat untuk memberikan semangat dan keyakinan kepada hadirin…
“Hadirin sekalian, para pemuda pemudi Turatea harapan kami. Padamulah kuletakkan tugas membela dan mempertahankan martabat serta harga diri Butta Turatea ini. Kita tidak ingin diremehkan oleh siapapun juga. Meskipun tugas ini berat tapi jangan disia-siakan. Kupanggil kamu untuk menyatukan tekad menjaga kemungkinan terjadinya serangan dari Gowa”.
“Maeko erokko abbulo sibatang, accera sitongka-tongka. Marilah kita bersatu, satu ucapan, satu tindakan. Jangan kecewakan kami demi tumpah darah dan rakyat Turatea. Jangan khianati leluhurmu hanya karena suapan dari pihak lawan. Majulah pantang mundur sebelum berhasil, “Alleangi matea natappelaka siri’nu, ancuru’ buku-bukunnu tamaona pau-paunu”. Jangan jadi pengejut, lari dari tanggungjawab.
“Manna kammanne buluka lompona nidallekang, tena sukkara’ punna samaturukki”. Inilah harapanku kepadamu. Kami tekankan tugas ini dipundakmu, untuk dilaksankan dengan sebaik-baiknya. Selamat Berjuang…‼!”
Demikianlah Kare Layu mengakhiri pidatonya dan kembali duduk. Kemudian rapat akbar ini dibubarkan oleh Daenta Bontotangnga sebagai panglima perang, setelah memberikan arahan-arahannya kepada para pemuda Turatea…(Insya Allah berlanjut ke Bag. 4).

ASAL MULA KERAJAAN BINAMU (Bag. 2)

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Akibat Kezaliman Gallarrang Mangngasa
Setelah Pari’ba Daeng Nyento’ menuju ke usia renta, maka diangkatlah Nunneng menjadi Kare Layu yang ke 4…!

Seperti biasa, rakyat Turatea berbondong-bondong menuju Gowa untuk kerja bakti (akkusiang). Kali ini, mereka dipimpin langsung oleh Nunneng dan Pari’ba Daeng Nyento (Kare Layu ke 3). Sampai di Gowa, mereka langsung diperintah oleh Gallarrang Mangngasa menuju ke hutan untuk menebang kayu besar.

Setelah pohon itu roboh, Gallarrang Mangngasa memerintahkan untuk menarik kayu tersebut dari ujungnya tanpa dihilangkan ranting dan dahannya.

Melihat kejadian itu, Pari’ba Daeng Nyento’ sebagai pimpinan rombongan merasa kasihan dan naik darah. Maka ia berseru dengan lantang: “Besoki-besoki…! Allappi taung nampa kipara nawa-nawa”. (tariklah…tariklah! Nanti tahun berikutnya baru kita masing-masing berfikir).

Gallarang Mangngasa yang mendengar ucapan itu, langsung mengadu ke Sombayya ri Gowa. Maka dipanggilah Pari’ba Daeng Nyento’ menghadap untuk mempertanggung jawabkan ucapannya. Dihadapan Sombayya, Pari’ba berdiplomasi…

“Beribu ampun, Karaeng! Mungkin Gallarrang Mangngasa salah dengar. Saya cuma bilang: “Besoki-besoki lamunganna binennu, sappeanna birallenu… (Tariklah…tariklah! Waktunya tanaman bibit padimu, petikan buah jagungmu). Maksud hamba, agar mereka bersungguh-sungguh bekerja Karaeng…” Kilah Pari’ba.

Jawaban diplomatis ini menyebabkan Gallarrang Mangngasa tidak mampu membuktikan laporannya. Sehingga Pari’ba lolos dari hukuman sampai ia pulang ke Layu beserta rombongannya…
Sampai di Layu, kekejaman Gallarang Mangngasa masih membekas dihati Pari’ba. Oleh karena itu, ia mengundang para pembesar Layu dan pembesar Kare lainnya di Butta Turatea untuk berunding menyikapi masalah ini.

Setelah berunding cukup lama, pertemuan tersebut menghasilkan lima kesepakatan:
(1). Mengirim utusan ke Gowa untuk menyampaikan bahwa rakyat Turatea sudah tidak mau 
       lagi diperintah Gowa.
(2). Rakyat Layu ingin berdaulat sebagai Kerajaan yang mandiri di Butta Turatea
(3). Rakyat Layu dan semua rakyat dari wilayah kekuasaan Kare-Kare lainnya yang ada di 
       Butta Turatea akan bersatu menghadapi Gowa.
(4). Pemerintah Kare Layu harus membentuk angkatan perang.
(5). Apabila berhasil membentuk sebuah Kerajaan mandiri, maka nama kerajaannya adalah 
       Kerajaan BINAMU.

Selain itu, di pertemuan tersebut disepakati juga bahwa orang yang akan menjadi utusan ke Gowa adalah Daenta Bonto Tangnga dan Gallarrang Embo. Setelah itu, pertemuan ditutup dan masing-masing undangan pulang ke wilayahnya masing-masing, kecuali Daenta Bontotangnga dan Kare Balang.

Rupanya kedua orang tersebut sengaja tidak segera pulang, karena penasaran dengan poin ke 5 dari hasil kesepakatan tersebut diatas, yaitu pemberian nama BINAMU untuk kerajaan barunya kelak. Perlu diketahui bahwa yang mengusulkan nama tersebut adalah Pari’ba Daeng Nyento.

Oleh karena itu, kedua orang ini mempertanyakan ulang kepada Pari’ba, kenapa nama Binamu yang dipilih?

Dengan tenang dan berwibawa, Pari’ba menjelaskan kronologis peristiwa kekejaman Gallarrang Mangngasa di Gowa kepada rakyat Turatea. Tidak lupa pula Pari’ba menjelaskan pernyataan diplomatisnya dihadapan Sombayya sehingga bisa lolos dari hukuman yang mengerikan, yaitu: “Besoki-besoki lamunganna binennu, sappeanna birallenu…!

“Jadi, nama itu saya ambil dari kata “BINE” menjadi kata “BINA”, kemudian “MU” saya ambil dari LAMUNGANNA, sehingga kalau digabung menjadi “BINAMU”. Kata Pari’ba.

Menurutnya, nama itu memiliki nilai historis yang cukup dalam, karena merupakan titik awal dari sebuah pemberontakan dan pembebasan dari kezaliman dan kesewenang-wenangan. Lagipula, nama BINAMU bisa bermakna pembinaan dan bimbingan (BINA), untuk MU (peMUda peMUdi masyarakat Turatea) Itu sendiri.

Hal ini sejalan dengan ciri khas masyarakat Turatea yang ingin dibina dan juga bisa membina. Tetapi tetap pantang mundur dan tidak mudah menyerah, apalagi jika sudah berhubungan dengan soal SIRI’. Sesuai dengan slogan masyarakat Turatea “Kualleangi Matea Na Latappelaka Sirikku” (lebih baik mati daripada hidup menanggung malu)… <Insya Allah Berlanjut Ke Bag. 3>


ASAL MULA KERAJAAN BINAMU (Bag. 1)

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Assalamu Alaikum sa'ribattang semuanya...
Untuk tulisan yang satu ini, Jufri Daeng Nigga akan menyuguhkannya secara berseri karena di samping pembahasannya yang cukup panjang, juga membutuhkan waktu menulis yang cukup melelahkan. Harap maklum sa'ribattang... Karena disamping ngeblog, Jufri Daeng Nigga juga punya aktifitas lain yang jauh lebih urgen dan berebut minta untuk dituntaskan...
So, kita langsung saja simak tulisan berikut ini...!

Pada Mulanya Adalah “KARE”
Dulu, pemerintahan pertama yang terbentuk di Butta Turatea adalah bentuk pemerintahan “KARE”. Sebuah bentuk pemerintahan pada zaman dulu, yang diberikan kewenangan untuk mengatur pemerintahan sendiri di Butta Turatea atas pemberian kekuasaan dari Sombayya ri Gowa. Pemerintahan ini tidak berdiri sendiri dan otonom, tapi berada dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa.
Sebagaimana lazimnya sebuah ke-Kare-an, maka setiap tahun orang-orang di Turatea dikirim ke Gowa untuk bekerja bakti demi kepentingan kerajaan. Ini merupakan salah satu upeti atau tanda pengabdian pemerintahan Kare kepada Sombayya ri Gowa.
Tercatat dalam sejarah, bahwa yang pertama kali diangkat menjadi Kare di Turatea adalah INDRA BAJI. Seorang Kare yang tidak diketahui asal usulnya, sehingga masyarakat pada waktu itu cenderung mengaitkannya dengan konsep TUMANURUNG. Begitu juga kematian dan kuburannya tidak diketahui oleh masyarakat, sehingga masyarakat sering menyebutnya “Tusayanga ri Kalabbiranna” (Orang yang Raib di Kemuliaannya).
Pusat pemerintahan Kare Indra Baji berada di wilayah Layu, sehingga lebih dikenal dengan nama Kare Layu. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Kare Layu berasal dari nama putri Indra Baji, yaitu I Layu.
Selain di Layu, di Butta Turatea juga dibentuk beberapa Kare yang lain dalam wilayah yang berbeda, yakni:
  1. Kare Kalimporo di Tana Toa;
  2. Kare Tina’ro di Tina’ro;
  3. Kare Balang di Balang;
  4. Kare Manjangloe di Manjangloe;
  5. Kare Ballarompo di Ballarompo; dan
  6. Kare Tolo' di Tolo'.

Semua kare ini mengabdi kepada kekuasaan Sombayya ri Gowa.
Setelah Indra Baji wafat, maka putri satu-satunya yaitu I Layu diangkat menjadi Kare yang ke 2 oleh Raja Gowa. Bersama-sama suaminya, Pari’ba Daeng Nyento’, I Layu melanjutkan pemerintahan ke-Kare-an di Layu. Tapi lama kelamaan, atas persetujuan Sombayya ri Gowa, tampuk pemerintahan diserahkan kepada Pari’ba Daeng Nyento’ karena dinilai lebih cerdas dan lebih cakap dalam memimpin. Oleh karena itu, Pari’ba Daeng Nyento’ menjabat sebagai Kare ke 3 di wilayah Layu.
Buah perkawinan antara I Layu dengan Pari’ba Daeng Nyento’ menghasilkan beberapa orang anak, diantaranya: Gaukang Daeng Riolo (anak sulung), dan Nunneng (anak bungsu yang kelak melanjutkan kepemimpinan Pari’ba Daeng Nyento’ di Layu). Selain itu, ada juga anaknya yang ke Kare Balang, Ke Boyong, ke Tolo, dan ke Rumbia…<Insya Allah lanjut ke bag. 2>

Kerajaan Arungkeke: Kerajaan Kecil Yang Berdaulat

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Istilah Turatea, pada awalnya merupakan wilayah yang meliputi Jeneponto dan Takalar. Tapi setelah Pemerintah menerbitkan UU No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi selatan, maka pada saat itu Takalar mulai terpisah dari Jeneponto.

Dulu, di Jeneponto setidak-tidaknya ada 4 kerajaan yang pernah eksis. Yaitu kerajaan Binamu, kerajaan Bangkala, kerajaan Tarowang dan kerajaan Arungkeke. Hanya saja yang paling menarik menurut saya dari keempat kerajaan tersebut adalah kerajaan Arungkeke. Di samping karena kerajaan ini menyimpan beragam cerita yang unik, juga karena kerajaan inilah satu-satunya di Jeneponto yang tidak pernah tunduk pada dominasi Kerajaan Gowa dan Bone, dan mampu membentuk kerajaan otonom yang berdiri sendiri.

Meskipun berada dalam lintas politik tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, dan juga tiga kerajaan lokal di sekitarnya, yaitu Binamu, Bangkala dan Tarowang. Tapi kerajaan Arungkeke masih tetap memperlihatkan identitas lokalnya yang khas, tanpa menafikan adanya asimilasi ragam budaya antar kerajaan yang juga ikut mewarnai perjalanan panjang kerajaan ini. Bahkan ketika Binamu dijadikan sebagai kerajaan besar, namun Kerajaan Arungkeke tetap berdaulat dan tidak bersedia menjadi naungannya.


Asal Mula Kerajaan Arungkeke
==========================
Sebagaimana halnya kerajaan lainnya yang ada di Sulawesi Selatan, kerajaan Arungkeke juga diyakini bermula dari munculnya sosok wanita cantik dari Kayangan yang bernama Tumanurung. Tumanurung ini yang diberi nama Toalu’ Daeng Taba’, turun di Arungkeke tepatnya di bawah Pohon Asam sambil di ayun oleh pengawal dan budak yang menyertainya.

Konon, Ia berasal dari emas dan semua alat-alat yang dipakainya pun terbuat dari emas. Termasuk baju, mahkota, lesung, alu, perhiasan dan benda-benda lain yang Ia bawa serta. Saat kemunculannya yang tiba-tiba itu, ia membunyikan tumbukan lesung dan alu di bawah pohon asam, sambil di iringi suara gendang/ganrang bulo dan alat musik lainnya.

Oleh karena itu, dari dulu sampai berakhirnya kerajaan ini, setiap kali mengadakan Pallantikang Karaeng, selalu dilakukan di bawah pohon asam sambil di ayun, kemudian memperdengarkan suara tumbukan lesung dan alu (Appadekko), dan suara gendang/ganrang bulo, serta alat musik lainnya yang berusia ratusan tahun. Alat musik ini dikenal dengan nama Ganrang Talluna Arungkeke.

Kemudian, ada pula versi lain dari asal mula kerajaan ini. Katanya, sebenarnya Kerajaan Arungkeke berawal dari larinya Arung Mutara’ Daeng Tabba dari kerajaan Bone, Ia lari dari Bone karena tidak jadi dilantik menjadi Arung Pone. Ia membawa pelayan, prajurit, dan seluruh harta kekayaannya menuju Arungkeke, dan pada akhirnya dijadikan raja oleh rakyatnya. Setelah pelantikannya, ia terpikat dengan salah seorang anak karaeng yang bernama Karaeng Intang. Karaeng Intang inilah yang melahirkan anak dan kelak meneruskan pemerintahan ayahnya sebagai Karaeng Arungkeke.

Tapi versi lain mengatakan, bahwa Arung Mutara’ lari karena ia tidak ingin terlibat peperangan antara Kakaknya Arung Palakka dengan Pamannya Sultan Hasanuddin.

Terlepas dari versi mana yang lebih valid, saya cenderung lebih mengakui bahwa Kerajaan Arungkeke tidak terlepas dari unsur-unsur Bugisnya. Itu dibuktikan dengan nama “Arungkeke” yang berasal dari bahasa Bugis, “Arung” berarti Penguasa/Raja dan “Keke” berarti Kecil. Jadi Arungkeke adalah sebuah kerajaan kecil yang berdaulat dan otonom, berdampingan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Jeneponto.

Arungkeke dan Kerajaan Lainnya
============================
Di masa lalu, Arungkeke adalah daerah dimana Islam pertama kali disebarkan dan terkenal sebagai Serambi Mekahnya Jeneponto. Arungkeke juga sebuah kerajaan yang besar sama seperti Binamu, Bangkala dan Tarowang. kerajaan ini cukup diperhitungkan kebesarannya dan disegani di daerah Sulawesi Selatan. Adapun wilayah kekuasaannya meliputi Palajau, Bulo-bulo, Arungkeke Tamanroya, Arungkeke Pallantikang, Petang dan satu Kerajaan Palili yaitu Kerajaan Bungeng yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Arungkeke.

Arungkeke juga merupakan kerajaan exist di Sulawesi Selatan pada abad ke 17 selain Gowa, Mandar, Sanrobone (Takalar), Bulo-bulo (Sinjai), Binamu (Jeneponto), Suppa, dan Balanipa (Mandar).

Dari zaman dahulu, Arungkeke tidak pernah di perintah oleh kerajaan-kerajaan besar manapun di Jeneponto. Tidak seperti Sidenre dan Togo-Togo yang menjadi palili’/wanua (kerajaan bawahan) Binamu. Oleh karena itu strata kebangsawanan Arungkeke sama dengan kerajaan Binamu, Bangkala dan Tarowang.

Arungkeke dan Kolonial Belanda
============================
Saat Perang Makassar meletus, Arungkeke ikut melawan penjajah Belanda di bawah pimpinan Karaeng Arungkeke ke 12 yaitu Djarigau’ Karaeng Cambang. Ia mengibarkan bendera kerajaan yang bergambar Ratu Pertama Kerajaan Arungkeke, yaitu seorang wanita cantik yang menggunakan lesung dan alu yang terbuat dari Emas. Beliau mengibarkan bendera tersebut, ketika prajuritnya melihat penjajah dan pasukan Bugis di bukit dekat pantai Arungkeke. Bukit itu masih ada sampai sekarang. Dan di waktu perang sedang berkecamuk, rakyat dan Raja Arungkeke ikut dalam peperangan tersebut untuk membantu Gowa.

Dalam Perang Makassar itu juga, Bantaeng dan kerajaan bawahan Arungkeke, serta kerajaan-kerajaan palili’ Gowa yang masih setia, bersatu saling bahu membahu melawan penjajah Belanda dan para sekutunya.

Daftar Nama-Nama yang Pernah Memerintah di Kerajaan Arungkeke
=========================================================
Adapun Raja yang pernah memerintah di Kerajaan Arungkeke adalah sebagai berikut:
•   Ratu/ Karaeng Baine Toalu’Daeng Taba (Tumanurung)
•   Arung Mutara’ Daeng Tabba (asal Bone)
•   Makkumala Daeng Irawa (dari Bantaeng)
•   Daeng Malonjo’ (dari Bantaeng)
•   Daeng Mattinri Karaeng Pakadoa
•   Supanara’ Daeng Nara (Gantarang Kindang Gowa)
•   Mannyaurang Daeng Tau (Anak Raja ke 6)
•   Danta’ Mappasang/Mappa Daeng Pasang Karaeng Toa
•   Pagonra Daeng Momo
•   Sallawa Daeng Sayu Karaeng Assuluka
•   Pattoreang Daeng Kanna
•   Djarigau’ Karaeng Cambang (dari Binamu-Gowa)
•   Makkodo’ Karaeng Bukkuka
•   Kadieng Daeng Maro Karaeng Po’nyayya
•   Jannang Daeng Rara
•   Timung Daeng Mabatu Karaeng Ammadaka
•   Pabeta Daeng Buang Karaeng Tinggia
•   Jannang Daeng Rara
•   Pilla Karaeng Loloa
•   Kadieng Karaeng Caddi
•   Lawing Daeng Palliwang Karaeng Ngilanga
•   Jannang Daeng Maro
•   Kuri Daeng Jalling Karaeng Toaya
•   Mattuppuang Karaeng loloa
•   Tempo Karaeng Gau (Tunijallo Ripassuki)
•   A.Burhan Gassing Karaeng Gassing
•   Mahdi Karaeng Kulle
•   Rudda Karaeng Moke
•   Muh. Yunus Karaeng Nojeng
•   Muh. Sa’ing Karaeng Bulu
•   Pakihi Karaeng Raja
•   M. Jafar Bantang Karaeng Ngawing

Yang pernah dilantik menjadi karaeng Baine antara lain:
•   Karaeng Baineya/ Toalu’ Daeng Taba Karaeng Arungkeke (Tumanurung)
•   Bulang Daeng/Karaeng Romba Karaeng Baineya istri Raja ke 8
•   Condong Daeng/Karaeng Simung Kareng Baineya
•   Kalisong Daeng Datu’ Karaeng Balua Istri Raja 19.

(Dari beberapa sumber)