Di Butta Turatea, ada sebuah cerita yang
beredar dan mewarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Cerita tersebut berkisah tentang keberanian seorang I Maddi Daeng
Rimakka, seorang pemberani kerajaan Gowa di Binamu dan pernah ditawan oleh
kompeni. Dia dimuliakan di Layu, pemimpin di Balandangan, penguasa di Binamu,
dan di persiapkan untuk menjadi Raja di Turatea.
Cerita bermula, ketika Karaeng Bodo-Bodoa
(orang dekat I Maddi Daeng Rimakka?) dan beberapa bangsawan lainnya, mengambil
(mencuri?) beberapa ekor kerbau dan kuda milik Karaeng Bontotangnga pada malam
hari. Kemudian mereka potong dan santap bersama di pesta minum arak, sehingga
di keesokan harinya terlihat bekas dan sisa-sisa makanan di tempat tersebut.
Padahal seharusnya kerbau dan kuda tersebut,
akan dijadikan santapan pada pesta yang akan di selenggarakan oleh Karaeng
Bontotangnga. Pesta (pernikahan?) yang akan digelar dalam jangka waktu yang
tidak lama lagi.
Tidak lama kemudian, berita tersebut sampai
di telinga Karaeng Bontotangnga. Dan sebagai responnya, Karaeng Bontotangnga
memanggil para Pemangku Adatnya menghadap untuk dimintai pendapat terkait
peristiwa tersebut.
Setelah Pemangku Adat tiba di istana dan
nyirih beberapa saat, Karaeng Bontotangnga berkata, “Wahai para Pemangku
Adatku, berilah satu solusi atas musibah yang menimpa keluarga istana ini. Saya
merasa merasa malu karena pesta akan segera dilaksanakan, sementara kerbau dan
kuda habis di pesta minum arak.”
Mendengar perkataan sang Raja, para pemangku
adat kebingungan. Sehingga tak satupun solusi yang terlontar di mulut mereka.
Melihat pemangku adatnya bingung, maka sang Raja bertitah, “Pergilah ke I Maddi
Daeng Rimakka. Minta pertanggungjawabannya. Karena Ia juga ikut di pesta minum
arak tersebut.”
================
I Maddi Daeng Rimakka sedang duduk santai di
baruganya. Asyik mewarnai kukunya, menusuk gigi merahnya, dan menyisir rambut
panjangnya, ketika utusan Karaeng Bontotangnga tiba di istananya. Melihat
tamunya datang, I Maddi Daeng Rimakka mempersilahkannya duduk dan menyodorkan
sirih pinang di talang emas.
Selang beberapa saat kemudian, I Maddi Daeng
Rimakka berkata, “Ada apa gerangan paman datang ke istanaku?” Salah seorang
utusan menjawab, “Kami diutus oleh Karaeng Bontotangnga untuk menyampaikan
pesan kepada ananda. Sang Raja ingin agar ananda mengganti kerbau dan kuda
miliknya, pamanmu sendiri. Agar ananda tetap rukun sekeluarga dan tidak terjadi
pertumpahan darah.”
Mendengar pesan tersebut, I Maddi Daeng
Rimakka naik pitam seraya berkata, “Katakan pada Karaeng Bontotangnga, jika
ingin kerbau dan kuda itu diganti, maka kamu harus terlebih dahulu memenggal
kepalaku di medan perang. Karena hanya dengan cara itu, aku baru bisa
mengabulkan permintaanmu.”
Mendengar statement keras dari I Maddi, para
utusan itupun pulang dan melaporkannya ke Karaeng Bontotangnga.
=================
Setelah mendengar berita penolakan I Maddi,
Karaeng Bontotangnga gusar. Namun sebagai seorang paman dan juga seorang Raja,
Ia masih memberikan kesempatan kedua sebelum perang benar-benar terjadi. Oleh
karena itu, Ia menyuruh kembali utusannya untuk menemui I Maddi, agar berfikir
baik-baik dan sudi kiranya memenuhi permintaannya. Tapi toh jika tetap
bersikeras pada pendiriannya, maka pesan Karaeng Bontotangnga kepada I Maddi
agar mempertajam tombaknya dan mengasah badiknya, karena cepat atau lambat
perang akan terjadi.
Utusan pun berangkat. Mereka sampai di istana
ketika I Maddi sedang asyik bermain raga bersama koleganya. Ibu I Maddi yang
juga asyik menonton lewat jendela bersama I Mulli Daeng Massayang (istri kesayangan
I Maddi), melihat kedatangan utusan tersebut dan memanggil I Maddi agar
menghentikan permainan dan segera menemui tamunya. I Maddi pun meninggalkan
permainan dan mempersilahkan tamunya masuk ke istana.
Seperti biasa, setelah istirahat sejenak dan
sirih pinang tersaji di talang emas, I Maddi membuka pembicaraan dengan
pertanyaan yang bernada penasaran. Salah seorang utusan menjawab, “Kiranya kali
ini ananda dapat memenuhi permintaanku. Kami tidak ingin ada pertumpahan darah
antar dua kerajaan ini. Kami harap ananda mau mengganti kerbau dan kuda
pamanmu. Jika ananda masih tetap bersikeras tidak mau menggantinya, maka beliau
akan menempuh jalan peperangan yang tentunya akan menebar malapetaka.”
Tapi bukan I Maddi Daeng Rimakka jika akan
melunak begitu saja. Sambil menggigit bibirnya dan menepuk dada Ia berteriak,
“Nanti di perbatasan Layu baru kerbau itu kubayar. Nanti di jembatan Manjangloe
baru kuda-kuda Karaeng Bontotangnga kuganti.”
Mendengar itu, ayah dan ibu I Maddi (yang
juga ada di tempat) menasehati anaknya. Katanya, “Apakah hanya kerbau seekor
dan kuda beberapa ekor sehingga engkau ingin merenggang nyawa, Anakku? Engkau
pandang remeh masalah ini. Bagaimana jika sekiranya di medan perang engkau
dikalahkan? Bukankah itu cukup menyulitkanmu dan membuatmu putus asa?”
Tapi I Maddi tidak bergeming. Bahkan dengan
gagahnya Ia berkata, “Tidak seorangpun yang aku takuti. Siapapun di depanku
akan aku hantam dengan tombak dan keris pusaka. Meskipun orang kebal aku akan
membunuhnya. Aku akan bergerak laksana elang menyambar mangsa, seperti burung
garuda menerkam musuhnya.”
“Jika itu menjadi keputusanmu, maka
lakukanlah! Engkau tidak mau lagi menerima nasehatku, maka saranku
berhati-hatilah di medan laga.” Pasrah ayah I Maddi. “Perbaiki taktik dan
strategimu, karena lawanmu itu sebenarnya dari Bone. Karaeng Bontotangnga
adalah orang keras dan berpengalaman di medan perang.” Lanjutnya.
====================
Sadar bahwa perang pasti akan terjadi. Maka,
I Maddi mengutus Jolo Daeng Mannilingi dan Seke Daeng Manrokkai untuk menemui
Raja Cina di Bontoala. Tujuannya agar Raja Cina tersebut bisa memberikan
bantuan 8 buah baju besi, lamin 4 pasang, baju berantai 40 buah, dan senjata 12
pucuk lengkap dengan pelurunya.
Namun harapan I Maddi tidak terpenuhi. Bahkan
kedua utusannya itu hanya membawa pesan dari Raja Cina, agar menghindari perang
karena kedua belah pihak masih satu keluarga. Juga agar I Maddi rela memenuhi
permintaan Karaeng Bontotangnga, karena itu memang kewajiban I Maddi Daeng
Rimakka.
Mendengar pesan dari Raja Cina tersebut, I
Maddi berkata sambil mengusap airmatanya, “Aku malu jika rencana ini tidak
diteruskan. Ibarat kuda, pelananya sudah terpasang. Telah kuputuskan apapun
yang terjadi, akan aku pikul meskipun berat.”
Setelah berkata demikian, I Maddi melangkah
turun dari istana menemui pasukannya dan bertitah, “Wahai rakyat dan pasukanku,
bersiaplah menghadapi perang! Siapkan pula kudaku, Si Balo Dodong dari
Balumbungang.”
Setelah itu, I Maddi menuju ke tempat
peristirahatannya. Disana Ia berdiskusi dengan I Rambu Daeng Rimoncong dan I
Manja Daeng Mannyarrang tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di
medan laga, meskipun Raja Cina di Bontoala tidak berkenan memberinya bantuan.
=====================
Genderang perang mulai di tabuh. Matahari
masih bersembunyi di timur, namun biasnya cukup terang untuk memulai sebuah
perang.
I Maddi Daeng Rimakka beserta pasukannya
bergerak perlahan meninggalkan istana menuju ke timur, semakin ke timur, yah…
ke medan laga. Ke sebuah tempat yang telah di sepakati kedua belah pihak, di
perbatasan Layu di kaki bukit Romang Polong. Disanalah ajang pembuktian tentang
arti sebuah harga diri, meskipun darah dan nyawa sebagai tumbalnya.
Maka tanpa kenal lelah, I Maddi beserta
pasukannya rela menempuh perjalanan panjang nan berliku. Menyusuri hutan
belantara, mendaki bukit, dan menyeberangi sungai-sungai, hingga mereka sampai
di perbatasan Romang Polong, ketika matahari tepat diatas kepala.
Dari arah timur, nampak pula Karaeng
Bontotangnga bersama pasukannya terlihat laksana sebuah pulau kecil. Hadir pula
bersamanya, Ballaco Bontotangnga, I Cangkiong di Mannyumbeng, dan I Pa’da di
Arungkeke.
I Rambu dan I Manja yang melihat gerombolan
pasukan tersebut seketika menjadi pucat. Nyalinya menciut dan kehilangan
keberanian. Dengan suara bergetar, I Rambu berkata kepada I Maddi Daeng
Rimakka, “Kita sebaiknya mengurungkan niat Karaeng. Saya melihat kekuatan
Karaeng Bontotangnga terlalu kuat untuk kita hadapi.”
Melihat sikap I Rambu yang tidak terpuji itu,
I Maddi berkata, “Aku malu melarang pasukanku berperang. Aku juga tidak mungkin
lagi mengurungkan niat untuk berperang. Jika pun aku mati di medan perang, maka
aku minta siapkan saja kain kafan dan kerandaku. Kita akan saling membunuh!”
“Kalau begitu, baiklah kita berperang!” Seru
I Rambu dan I Manja yang pada awalnya gentar melihat kekuatan lawan.
Setelah itu, sambil memukul dada bergeraklah
I Maddi Daeng Rimakka bersama kudanya, Si Balo Dodong. Di belakang, I Rambu dan
I Manja beserta pasukan lainnya mengikutinya. Tidak lama kemudian, bertemulah
I Maddi dengan Karaeng Bontotangnga
tepat di kaki bukit Romong Polong.
======================
“Wahai Maddi, baliklah badanmu. Tidak lama
lagi kau akan terbunuh. Sudah lama kau anggap dirimu pemberani. Tidak ada orang
lain yang kau anggap manusia.” Seru Karaeng Bontotangnga di tengah kecamuk
perang.
“Akulah laki-laki tanpa tanding. Akulah
matahari yang tidak akan redup apalagi tenggelam di medan perang.” Balas I
Maddi.
“Kalau begitu, mari kita berperang sampai
tewas.” Teriak Karaeng Bontotangnga sambil menghunus tombaknya.
Pada saat itu juga, I Maddi melompat dari
kudanya. Menghunus tombaknya sambil menerkam dan menerjang laksana elang. Tidak
butuh waktu lama, I Maddi tenggelam dalam pertempuran. Ia sudah tidak nampak di
tengah-tengah kerumunan musuh. Begitupun juga Karaeng Bontotangnga yang membabi
buta di tengah-tengah kumpulan pasukan I Maddi Daeng Rimakka.
Kontras dengan itu, I Rambu dan I Manja yang
sedari tadi gentar melihat lawan. Tiba-tiba melarikan diri dari medan perang,
meninggalkan I Maddi yang sedang mengamuk, dan berlari hingga di tangga istana
I Maddi Daeng Rimakka.
Selang beberapa saat kemudian, I Maddi
berhasil menombak I Garigi Daeng Mattarang, menyerang I Ranggong di Tana Toa,
dan mengejar I Marengge Karaeng Bonto serta Karaeng Bontotangnga itu sendiri.
Namun, keberuntungan masih berada di pihak
Karaeng Bontotangnga. Di tengah-tengah pengejarannya, muncullah Ballaco bersama
I Cangkiong dan I Pa’da di Arungkeke. Sambil memukul dada, Ballaco berseru,
“Lawan aku wahai Maddi. Akulah Ballaco dari Bontotangnga.”
Melihat kondisi yang kurang menguntungkan, I
Maddi berkata, “Apakah kau sudah lupa Ballaco pada saat aku menikah dengan
keluargamu, I Mulli Daeng Massayang di Tonrokassi?”
“Percuma mengingat kebaikan masa lalu bila
sudah terlanjur di medan perang. Kenangan manis tidak berarti apa-apa jika
harga diri telah dilecehkan.” Ballaco membalas.
“Jika demikian, kita pasti bertempur dan aku
tidak tidak akan gentar menghadapimu.” Seru I Maddi.
Pada saat yang bersamaan, I Maddi mengayunkan
tombaknya laksana kerbau di atas titian. Mengamuk membabi buta. Tapi baru tiga
kali menyerang, Ia terkepung. Karaeng Bontotangnga dan Ballaco dari depan, I
Cangkiyong dari samping, dan I Pa’da dari belakang, bersama-sama menghunjamkan
tombaknya ke arah I Maddi hingga jatuh tersungkur ke tanah. Gigi merahnya
patah, tujuh belas luka di tubuhnya, dan tiga jemarinya terputus kena tombak.
Yah, I Maddi Daeng Rimakka kalah. Ia sudah
tak mampu melawan. Hunjaman puluhan tombak tak sanggup Ia tepis, hingga Sang
Pemberani meregang maut. Ia tewas di tangan Karaeng Bontotangnga dan sekutunya.
Tewas di atas keperkasaan dan keberaniannya yang tak pandang bulu.***
(Disarikan dari buku: “I Maddi Daeng Rimakka”
Sang Raja Di Telan Maut)
Menarik untuk dijadikan film kolosal cerita Maddi Daeng Ri Makka ini. Sekarang banyak film dibuat dari kisah nyata seperti film Gie, film ttg KH Ahmad Dahlan, film Sunan Kalijaga, dll. Smoga ada sineas yg mau memfilmkan kisah I Maddi diatas
BalasHapusini menarik. Mempertahankan harga diri memang mahal bahkan harus dibayr dengan nyawa sekalipun. Tapi mengakui kesalahan itu lebih baik dan harga diri pun tetap utuh. Kisah I Maddi daeng Rimakka sudah dikenal dalam kelong-kelong to riolo (Nyanyian Orang Tua dulu).
BalasHapusAdakah versi sinrilik atau pakkacapingnya?
BalasHapusada versi sinriliknya,,melalui alat musik tradisonal yang dinamakan gesong gesong
Hapusya..sebenarnya cerita adat tau riolo yang seperti ini yang harus dimunculkan kepermukaan, agar kelak anak anak kita akan mengetahui budaya dan sejarah nenek moyang mereka..saya sangat mendukung cerita tau riolo, dan masih banyak lagi yang lebih menarik,,seperti cerita tentang datu museng,kappala tallung batua,, dan yang poaling seru adalah Ana Ijoa Sapareng...salam
BalasHapusLuar biasa cerita ini..
BalasHapusItu di peragakan dalam drama bukan sih?
BalasHapusItu di peragakan dalam drama bukan sih?
BalasHapusAda buku yang pake bahasa makassar ka bos???
BalasHapusBisa juga itu dijadikan film,, krn saya sebagai cucu dr karaeng bintongtangnga juga ingin mengetahui bagaimana sejarah tentang i maddi daeng rimakka vs karaeng bintotangnga
BalasHapusBlum tau ya ceritanyab??
Hapusmaaf, Siapakah orang tua dari I MADDI DAENG RIMAKKA ini ???
BalasHapusAda teks bahasa makassarnya daeng?
BalasHapusAda naskah yg berbahasa makassarnya daeng?
BalasHapusSangat aneh sih kak, dri cerita cerita yang saya dengar dri orng2 tua serta sinrilik yng sring saya dengar sangat berbanding terbalik dengan sikap yang di perankan di dalam artikel ini. Klk sya membaca tulisan ini seakan-akan I makdi lah yang mencuri kerbau tersebut, sdangkn mnurut literatur dan ainrilk serta cerita orng tua bkn beliau pelakunya, akan tetapi pagorra 40 lah yang menjdi pelaku lewat konspirasi yang di ciptakan oleh Belanda waktu itu. Di sisi lain kedua sepupunya juga dikisahkan memiliki ambisi untuk memimpin kerjaan binamu kala itu, akan tetapi mereka mendengar berita bahwa I makdi di persiapkan untuk mnjdi raja binamu mereka berdua tdk sepakat, sehingga nya mereka pun terlibat dalam konspirasi tersebut.
BalasHapusMngkin itu kak yg bisa mnjdi kritik desta, pastinya bukan lebih tahu tpi saling berbagi pengetahuan sebab sosok I makdi merupakn sosok pejuang yang bisa jdi sejarah ataupun jeleknya di kaburkan dalm sejarah. Dan menurut sya bekiau merupkan pejuang dri tanah Turatea itu sendiri dan memiliki perna penting dalam membangun binamu sendiri.