Akibat Kezaliman Gallarrang Mangngasa
Setelah Pari’ba Daeng Nyento’ menuju ke
usia renta, maka diangkatlah Nunneng menjadi Kare Layu yang ke 4…!
Seperti biasa, rakyat Turatea
berbondong-bondong menuju Gowa untuk kerja bakti (akkusiang). Kali ini, mereka
dipimpin langsung oleh Nunneng dan Pari’ba Daeng Nyento (Kare Layu ke 3).
Sampai di Gowa, mereka langsung diperintah oleh Gallarrang Mangngasa menuju ke
hutan untuk menebang kayu besar.
Setelah pohon itu roboh, Gallarrang
Mangngasa memerintahkan untuk menarik kayu tersebut dari ujungnya tanpa
dihilangkan ranting dan dahannya.
Melihat kejadian itu, Pari’ba Daeng
Nyento’ sebagai pimpinan rombongan merasa kasihan dan naik darah. Maka ia
berseru dengan lantang: “Besoki-besoki…! Allappi taung nampa kipara nawa-nawa”.
(tariklah…tariklah! Nanti tahun berikutnya baru kita masing-masing berfikir).
Gallarang Mangngasa yang mendengar ucapan
itu, langsung mengadu ke Sombayya ri Gowa. Maka dipanggilah Pari’ba Daeng
Nyento’ menghadap untuk mempertanggung jawabkan ucapannya. Dihadapan Sombayya,
Pari’ba berdiplomasi…
“Beribu ampun, Karaeng! Mungkin
Gallarrang Mangngasa salah dengar. Saya cuma bilang: “Besoki-besoki lamunganna
binennu, sappeanna birallenu… (Tariklah…tariklah! Waktunya tanaman bibit
padimu, petikan buah jagungmu). Maksud hamba, agar mereka bersungguh-sungguh
bekerja Karaeng…” Kilah Pari’ba.
Jawaban diplomatis ini menyebabkan
Gallarrang Mangngasa tidak mampu membuktikan laporannya. Sehingga Pari’ba lolos
dari hukuman sampai ia pulang ke Layu beserta rombongannya…
Sampai di Layu, kekejaman Gallarang
Mangngasa masih membekas dihati Pari’ba. Oleh karena itu, ia mengundang para
pembesar Layu dan pembesar Kare lainnya di Butta Turatea untuk berunding
menyikapi masalah ini.
Setelah berunding cukup lama, pertemuan
tersebut menghasilkan lima kesepakatan:
(1). Mengirim utusan ke Gowa untuk
menyampaikan bahwa rakyat Turatea sudah tidak mau
lagi diperintah Gowa.
lagi diperintah Gowa.
(2). Rakyat Layu ingin berdaulat sebagai
Kerajaan yang mandiri di Butta Turatea
(3). Rakyat Layu dan semua rakyat dari wilayah
kekuasaan Kare-Kare lainnya yang ada di
Butta Turatea akan bersatu menghadapi Gowa.
Butta Turatea akan bersatu menghadapi Gowa.
(4). Pemerintah Kare Layu harus membentuk
angkatan perang.
(5). Apabila berhasil membentuk sebuah
Kerajaan mandiri, maka nama kerajaannya adalah
Kerajaan BINAMU.
Kerajaan BINAMU.
Selain itu, di pertemuan tersebut
disepakati juga bahwa orang yang akan menjadi utusan ke Gowa adalah Daenta
Bonto Tangnga dan Gallarrang Embo. Setelah itu, pertemuan ditutup dan
masing-masing undangan pulang ke wilayahnya masing-masing, kecuali Daenta Bontotangnga
dan Kare Balang.
Rupanya kedua orang tersebut sengaja
tidak segera pulang, karena penasaran dengan poin ke 5 dari hasil kesepakatan
tersebut diatas, yaitu pemberian nama BINAMU untuk kerajaan barunya kelak.
Perlu diketahui bahwa yang mengusulkan nama tersebut adalah Pari’ba Daeng
Nyento.
Oleh karena itu, kedua orang ini
mempertanyakan ulang kepada Pari’ba, kenapa nama Binamu yang dipilih?
Dengan tenang dan berwibawa, Pari’ba
menjelaskan kronologis peristiwa kekejaman Gallarrang Mangngasa di Gowa kepada
rakyat Turatea. Tidak lupa pula Pari’ba menjelaskan pernyataan diplomatisnya
dihadapan Sombayya sehingga bisa lolos dari hukuman yang mengerikan, yaitu: “Besoki-besoki
lamunganna binennu, sappeanna birallenu…!
“Jadi, nama itu saya ambil dari kata “BINE”
menjadi kata “BINA”, kemudian “MU” saya ambil dari LAMUNGANNA, sehingga kalau
digabung menjadi “BINAMU”. Kata Pari’ba.
Menurutnya, nama itu memiliki nilai
historis yang cukup dalam, karena merupakan titik awal dari sebuah
pemberontakan dan pembebasan dari kezaliman dan kesewenang-wenangan. Lagipula,
nama BINAMU bisa bermakna pembinaan dan bimbingan (BINA), untuk MU (peMUda
peMUdi masyarakat Turatea) Itu sendiri.
Hal ini sejalan dengan ciri khas
masyarakat Turatea yang ingin dibina dan juga bisa membina. Tetapi tetap
pantang mundur dan tidak mudah menyerah, apalagi jika sudah berhubungan dengan
soal SIRI’. Sesuai dengan slogan masyarakat Turatea “Kualleangi Matea Na
Latappelaka Sirikku” (lebih baik mati daripada hidup menanggung malu)… <Insya Allah Berlanjut Ke Bag. 3>
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!