Khadijah binti
Khuwailid (Wafat 3 H)
Khadijah binti Khuwailid adalah sebaik-baik
wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda Rasulullah: “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah
binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya tersirami
keimanan dan di khususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi Rasulullah SAW.,
menjadi wanita pertama yang menjadi Ummahatul
Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal jihad penyebaran
agama Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah adalah wanita yang hidup dan besar
di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada lima belas
tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin
mempersuntingnya. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali
menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu
Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga
jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah
dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum,
yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian,
Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku Quraisy.
Wanita Suci
Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan
wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena
keutamaan akhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan
Quraisy memberikan penghargaan dan berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan
Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin jika semua
dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun
langsung dalam berniaga dan bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada
musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah
mulai mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan
dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan
sesuai dengan kesepakatan. Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan
kemampuan intelektual dan kecemerlangan pikiran yang didukung oleh pengetahuan
dasar tentang bisnis dan bekerja sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang
yang dapat diajak berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadijah menuju
kesuksesan yang gemilang.
Pemuda yang Jujur
Khadijah memiliki seorang pegawai yang dapat
dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai pemuda yang
ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan tanggung jawab
untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan menyiapkan kafilah,
menentukan harga, dan memilih barang dagangan. Sebenarnya itu adalah pekerjaan
berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia.
Pemuda Pemegang
Amanah
Kaum Quraisy tidak mengenal pemuda manapun
yang wara’, takwa, dan jujur selain Muhammad bin Abdullah, yang sejak usia lima
belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya berdagang.
Seperti biasanya, Maisarah menyertai Muhammad
ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah, karena memang keduanya telah sepakat
untuk bekerja sama.
Perniagaan mereka ketika itu memberikan
keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah kembali membawa keuntungan yang
berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan yang mereka peroleh itu
berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh kejujuran. Maisarah menceritakan
kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan Muhammad. Selama
perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa mengiringi Muhammad
yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari. Dia pun mendengar
seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa Muhammad adalah
laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh orang Arab sebagaimana
telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita tentang Muhammad itu meresap ke
dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah pun telah merasakan adanya
kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa menerangi wajah Muhammad.
Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan terhadap Muhammad di dalam hati
dan pikirannya, sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang
dikenal dengan pengetahuannya tentang orang-orang terdahulu. Waraqah mengatakan
bahwa akan muncul nabi besar yang dinanti-nantikan manusia dan akan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu
menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap Muhammad semakin bertambah,
sehingga dia ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah,
saudara perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad,
sehingga akhirnya Muhammad diminta menikahi dirinya.
Ketika itu Khadijah berusia empat puluh
tahun, namun dia adalah wanita dari golongan keluarga terhormat dan kaya raya,
sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya. Muhammad pun menyetujui
permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan salah seorang pamannya, Muhammad
pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin As’ad untuk meminang
Khadijah.
Istri Pertama
Rasulullah
Allah menghendaki pernikahan hamba
pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia Muhammad baru menginjak dua
puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun. Walaupun usia mereka
terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak sepadan, pernikahan
mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah SWT telah memberikan
keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah adalah istri Nabi yang pertama dan
menjadi istri satu-satunya sebelum dia meninggal. Allah menganugerahi Nabi
melalui rahim Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan
banyaknya keturunan. Dia telah memberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasulullah
SAW. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan kekejaman datang dari
kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah SAW memperoleh perlakuan yang baik
serta rumah tangga yang tenteram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian
lama beliau merasakan pahitnya menjadi anak yatim piatu dan miskin.
Putra-putri
Rasulullah SAW
Khadijah melahirkan dua orang anak laki-laki,
yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan, yaitu Zainab,
Ruqayah, Ummu Kaltsum dan Fatimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum
masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah, Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang baik) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab banyak rnenyerupai ibunya. Setelah
besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’. Pernikahan
Zainab ini merupakan peristiwa pertama Rasulullah rnenikahkan putrinya, dan
yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kaltsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu
Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi diutus menjadi Rasul, Fathimah
az-Zahra, putri bungsu beliau masih kecil.
Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang
sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar
Mekah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah menikah dengan
Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah
sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun
sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid
selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat kabar bahwa Zaid berada di
tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah SAW untuk memohon agar
beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal.
Rasulullah SAW memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetap
tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama
Rasulullah, sehingga disinilah kita dapat mengetahui sifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi
masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah
menuju halaman Ka’bah untuk mengumumkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid
sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari
situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad.
Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang
membatalkannya, karena hal itu merupakan adat jahiliyah, sebagaimana firman
Allah berikut ini:
”…jika kamu
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah merela sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu…” (QS. At-Taubah : 5).
Pada
Masa Kenabian Muhammad SAW
Muhammad bin Abdullah hidup berumah tangga
dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tenteram di bawah naungan akhlak mulia
dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah menjadi tempat mengadu
orang-orang Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang
terjadi di antara mereka. Hal itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan
Rasulullah di hadapan mereka pada masa prakenabian. Beliau menyendiri di Gua
Hira, menghambakan dri kepada Allah yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi
Ibrahim.
Khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu
yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama ditinggal suaminya. Bahkan
dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama beliau di dalam gua,
karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan suaminya merupakan masalah
penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi Muhammad berusia empat puluh
tahun.
Suatu ketika, seperti biasanya beliau
menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan Ramadhan–. Beliau sangat gemetar ketika
mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh
beliau membaca, namun beliau hanya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”
Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau ke dadanya, seraya
berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!” Ketika itu Muhammad sangat bingung dan
ketakutan, seraya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Mendengar itu, Malaikat
Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, “Bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan
segala sesuatu yang belum mereka ketahui.” Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan
tersebut. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga beliau
kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam
keadaan terguncang seperti itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha
menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. “Berilah aku
selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya.
Khadijah memberikan ketenteraman kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan
kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau tidak langsung
menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena khawatir
Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka.
Pribadi
yang Agung
Setelah rasa takut beliau hilang, Khadijah
berupaya agar Rasulullah mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya
beliau pun menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan
cerita suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga
Rasulullah merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti
itu.
Sejak semula Khadijah telah yakin bahwa
suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk seluruh alam semesta.
Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas Muhammad menyampaikan
amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak baru dalam kehidupan
Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan meyakini ajaran Rasulullah
Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku mengharapkannya menjadi benteng
yang kuat bagi diriku.”
Di sinilah tampak kebesaran pribadi serta
kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah. Khadijah telah mencapai
derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah dicapai oleh wanita mana
pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah SAW, “Demi Allah, Allah tidak akan
menyia-nyiakanmu Engkau selalu menghubungkan silaturahim, berbicara benar,
memikul beban orang lain, menolong orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu
meringankan derita dan musibah orang lain.”
Setelah Rasulullah merasa tenteram dan dapat
tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal,
yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliyah. Khadijah menceritakan kejadian yang
dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha
Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah dalam genggaman-Nya, kalau kau
percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat Muhammad di Gua Hira itu merupakan
suratan yang turun kepada Musa dan Isa sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi
akhir zaman, dan namanya tertulis dalam Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu,
Khadijah segera menemui suaminya (Rasulullah SAW) dan menyampaikan apa yang
dikatakan oleh Waraqah.
Awal
Masa Jihad di Jalan Allah
Khadijah meyakini seruan suaminya dan
menganut agama yang dibawanya sebelum diumumkan kepada masyarakat. Itulah
langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah dan
turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah.
Beberapa waktu kemudian Jibril kembali
mendatangi Muhammad SAW. untuk membawa wahyu kedua dari Allah: “Hai orang yang
berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)
yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS.
Al-Muddatstsir: 1-7).
Ayat di atas merupakan perintah bagi
Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat dan ahlulbait
beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatakan beriman pada risalah
Rasulullah dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian
menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah yang sejak kecil diasuh
dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk
Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin Haritsah, hamba sahaya
Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari kalangan laki-laki
dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman
bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan
sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi
sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah.
Masa
Berdakwah Terang-Terangan
Setelah berdakwah secara sembunyi-sembunyi,
turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk memulai dakwah secara
terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah umat seraya
berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain Allah, tiada
sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.” Seruan beliau
sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah memanggil
manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal,
Manat, serta tuhan-tuhan lain yang memenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka
menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap
jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan
penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan
keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang
Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh
Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian dia memotivasi dan menguatkan
hati Nabi Muhammad SAW. Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan
dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak
terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalah
tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling keras menyakiti Rasulullah
adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal
dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah
anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua putri Rasulullah,
Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Walaupun begitu, Allah telah menyediakan pengganti
yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab
lewat firman-Nya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya,
pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut.” (QS. Al-Lahab: 1-5)
Khadijah adalah tempat berlindung bagi
Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati dan keceriaan wajah
istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus berjuang
menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan
harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu
Thalib, parnan Rasulullah, menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau
dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah figur yang sangat
disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.
Pemboikotan
Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin
Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk
menghentikan dakwah Rasulullah SAW, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan
penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin
dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang
Quraisy memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga
pamannya. Mereka terisolasi di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum
Quraisy dalam bentuk embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan
sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah dan
istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika
itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan kehidupan sebelumnya yang bergelimang
dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa
haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah SAW. dan kaum muslimin. Dia sangat
yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang
lain, sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman
untuk mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun,
tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan
adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum
Quraisy telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum
muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah SAW. pun kembali menyeru nama Allah Yang
Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
Wafatnya
Khadijah
Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib
jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali mi merupakan akhir dan
hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu
Thalib untuk menasehati Muhammad agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai
gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi Abu Thalib tidak bersedia, dan
dia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak akan bersedia menukar dakwahnya
dengan pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula,
maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul
Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah SAW. Sebaliknya,
orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka
akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah dan pengikutnya. Pada saat kritis
menjelang kematian pamannya, Rasulullah membisikkan sesuatu, secepat ini aku
kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit
keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikotan
itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah semakin
sedih. Bersama Khadijah, Rasulullah membangun kehidupan rumah tangga yang
bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh lima tahun,
Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi
Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun.
Rasulullah sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir
yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan
Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah meninggal setelah mendapatkan
kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia adalah Ummul
Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mempercayai risalah
Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah. Dia merelakan
harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah
orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga.
Kenangan terhadap Khadijah senantiasa lekat dalam hati Rasulullah sampai beliau
wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Khadijah binti
Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
==========================================