-->

MAULID NABI: Syariat Agama Atau Syariat Budaya?

Jufri Daeng Nigga | 11:27 PM | |
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Setiap tahun dalam hitungan kalender Hijriyah, terdapat satu bulan yang di dalam bulan tersebut mayoritas umat Islam di dunia melaksanakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan tersebut biasanya dilaksanakan mulai pada tanggal 12 Rabiul Awwal dan berakhir sebelum tanggal 1 bulan Rabiul Akhir. Bulan Rabiul Awwal dalam hitungan kalender hijriyah jatuh pada bulan ketiga yakni setelah Muharram dan Safar. Sementara untuk tahun ini, 12 Rabiul Awwal jatuh pada tanggal 24 Januari 2013.
Dilihat dari segi hukum pelaksanaannya, memperingati Maulid Nabi dipahami secara berbeda di kalangan umat Islam itu sendiri. Satu pendapat mengatakan bahwa memperingati Maulid Nabi itu hukumnya wajib, ada pula yang mengatakan sunat, mubah, makruh, dan haram. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi tersebut lebih cenderung sebagai “syariat budaya” ketimbang “syariat agama” itu sendiri. Alasannya, karena Maulid Nabi tidak punya dasar hukum sama sekali, baik dalam Alquran maupun dalam Hadits, yang bisa dijadikan pedoman dalam menetapkan bahwa Maulid Nabi adalah bagian dari “syariat agama”.
Hal ini mungkin cukup beralasan, karena dalam 3 abad pertama Islam, tidak seorang pun ulama salaf yang melakukannya. Alih-alih beralasan bahwa itu perintah Nabi SAW. Nanti setelah Dinasti Ubadiyyun (Fatimiyyah) berkuasa sekitar akhir abad ke-3 Hijriyah di Mesir, Maulid baru dirintis dan mulai marak dilakukan.
Apa tujuan dibalik pelaksanaannya? siapa sesungguhnya Dinasti Ubadiyyun (Fatimiyyah) tersebut? Untuk mengetahuinya, silahkan kunjungi artikelnya disini. Sedangkan untuk mengetahui lebih jauh tentang hukum pelaksanaan maulid Nabi SAW, silahkan kunjungi juga artikelnya disini.
Lebih lanjut… Peringatan Maulid Nabi cenderung dilaksanakan secara berlebihan oleh sebagian masyarakat, khususnya masyarakat yang mengkalim dirinya keturunan Nabi SAW (Syi’ah). Mereka menghambur-hamburkan banyak uang, harta, dan juga tenaga, hanya untuk sekedar mengaplikasikan keyakinan yang mereka sebut sebagai Cinta Rasul. Padahal jika ditilik lebih jauh, mencintai Rasulullah SAW dengan cara semacam ini, tidak punya dasar hukum sama sekali dan tidak pernah diajarkan oleh Nabi sebelumnya. Untuk artikel tentang bagaimana mencintai Rasul dengan cara yang tepat, silahkan kunjungi disini, disini dan disini.
Bahkan bukan itu saja. Di berbagai tempat, khususnya di kampung-kampung dimana ajaran Islam diterima secara fanatik dogmatis. Pelaksanaan Maulid Nabi cenderung disikapi secara tidak rasional dan memaksakan diri, itu karena mereka lebih rela mengorbankan hartanya yang pas-pasan, demi melaksanakan Maulid yang mereka nilai sebagai bagian dari “syariat agama” itu sendiri. Bahkan tidak jarang saya saksikan beberapa diantara mereka, rela menggadaikan dan menjual hartanya, atau paling tidak meminjam sejumlah uang, hanya sekedar untuk ikut memperingati Maulid Nabi yang terlanjur mereka yakini sebagai ajaran Nabi.
Apakah Islam mengajarkan hal ini? Bagaimana Islam menyikapi fenomena yang semacam ini?
Bagi saya, Islam adalah agama yang memudahkan dan tidak menyulitkan. Islam tidak menghendaki penganutnya terpaksa melakukan suatu amalan yang pada akhirnya menyulitkan diri sendiri. Jangankan melaksanakan Maulid Nabi, melaksanakan puasa, zakat, haji, dan sejumlah kewajiban lainnya pun dibolehkan untuk ditinggalkan untuk sementara waktu, jika kita tidak sanggup melaksanakannya. Alih-alih melaksanakan Maulid Nabi yang notabene bukan bagian dari ajaran Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, terlepas dari banyaknya manfaat yang dapat kita dapatkan dari pelaksanaan Maulid tersebut. Seperti misalnya, mendengarkan ceramah agama (bagi yang melaksanakan Maulid di tempat-tempat tertentu), mempererat silaturahmi, dan menikmati berbagai macam hidangan khas maulid. Bagi saya, Maulid Nabi tetap bukanlah “syariat agama” sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang, tetapi lebih cenderung mengarah kepada “syariat budaya” yang di pelopori oleh para penganut paham kebatinan yang bermula dari Mesir, saat Dinasti Ubadiyyun (Fatimiyyah) berkuasa. Demikian menurut saya… Bagaimana menurut Anda…? Wallahu A’lam Bishshawab.

Artikel Lainnya:

Tidak ada komentar:

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ :-? #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!

Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!