Masih ingatkah kita dengan kisah cinta Datu Museng dengan Maipa Deapati? Itu lho… kisah cinta yang
pernah terjadi di tanah Makassar, dimana Datu Museng dan Maipa Deapati, rela
mati di tangan kompeni demi mempertahankan cintanya? Ingat bukan?
Sebenarnya, ada kisah lain yang tidak kalah serunya
dengan kisah diatas, dan juga konon pernah terjadi tanah Makassar. Kisah tersebut
adalah kisah cinta antara I Taro Ana’
Kunjung Barani dengan I Samindara
Baine…
Kisah ini memiliki alur cerita yang seru dan kerap
menegangkan, karena di dalamnya melibatkan cinta yang rumit, dunia perdukunan, intrik
kekeluargaan, dan akhir cerita yang tragis. Tapi karena cerita ini tidak
familiar, maka hanya sedikit orang yang tahu. Apalagi kisah ini hanya eksis dalam
budaya tutur dengan menggunakan media bahasa lokal, yakni MAKASSAR.
Saya pribadi, menyukai cerita ini karena sejak kecil
sering saya jadikan sebagai dongeng pengantar tidur. Jika ada salah seorang
sobat blogger yang tergerak hatinya untuk tahu cerita ini, maka saya akan
menceritakannya sesuai kemampuan saya dalam menulis. Sengaja saya mengalihbahasakannya
ke dalam bahasa Indonesia, agar cerita ini lebih mudah dicerna dan lebih familiar. Tapi karena saya bukan sastrawan,
maka maaf saja jika ceritanya kurang puitis dan terkesan bertele-tele. Hehehe…
Ini dia ceritanya…‼!
Prolog
Di tanah Makassar, di sebuah dusun terasing, seorang
pemuda bernama I Taro Ana’ Kunjung Barani hidup dalam kesehariannya bersama
kedua orang tuanya. Ia pemuda malas. Sehari-hari Ia hanya tahu bermain gasing
dan mengadu ayam jago bersama teman-temannya. Hingga suatu ketika, orang tuanya
menegur dan memberi saran:
“Sudah bukan jamannya kamu bermain gasing dan mengadu
ayam, Taro. Lebih baik kamu berfikir untuk segera menikah.”
Tapi I Taro tidak menggubrisnya. Bahkan seakan Ia tidak
mau tahu dengan usianya yang kian dewasa itu. Ia tetap dengan kebiasaannya.
Kalau bukan bermain gasing bersama temannya, pasti mengadu ayam jago. Itu saja
kerjanya tiap hari, hingga orang tuanya pun berkali-kali menegurnya dan
memintanya untuk menikah.
Suatu hari, karena mungkin sudah bosan dengan teguran. I
Taro mengajukan usul bahwa jika benar orang tuanya menginginkan Ia menikah,
maka wanita yang cocok dinikainya hanyalah sepupunya, I Samindara Baine. Karena
hanya dialah satu-satunya wanita yang tepat dihatinya dan hanya dialah
satu-satunya wanita yang membuatnya jatuh cinta.
Bukan karena keinginan I Taro untuk menikah yang membuat
orang tuanya berfikir. Tapi karena wanita yang ingin dipersuntingnya lah yang membuatnya
ragu. Apakah mungkin sepupunya itu mau menerima lamaran I Taro? Di satu sisi, I
Taro hanyalah seorang pemuda malas yang tidak punya kerjaan, di sisi lain
sepupunya itu terlalu jelita untuk I Taro. Tapi karena ini kesempatan untuk
merubah hidup anak satu-satunya itu, maka di coba tak mengapa…gagal jadi
pengalaman…hehehe! Begitulah kira-kira yang ada di pikiran orang tua Taro.
I Samindara Baine adalah seorang gadis berparas
cantik. Ia punya banyak teman yang
membantunya merias diri, menyisir rambut hitamnya yang lebat dan panjang lurus
hingga ke bokong, mencat kuku-kukunya yang panjang dan indah. Wajahnya putih
bak bulan purnama. bibirnya yang selalu basah, selaras dengan bentuk hidungnya yang
mungil. Bulu matanya lentik, serasi dengan bola matanya yang teduh bersinar.
Benar-benar gadis jelita yang menghampiri kesempurnaan. Karena kejelitaannya
itulah, sehingga teman-temannya memberinya gelar: I Samindara Baine, si gadis
elok hiasan wanita, beranting dua berkalung tiga.
Ke elokan tubuhnya membuat para lelaki di sekitarnya
berebut mempersuntingnya. Tapi tak satupun yang diterimanya. Tak terkecuali
pinangan I Taro pun di tolaknya mentah-mentah.
Berkali-kali suruhan orang tua Taro, I Unru’ Dae, menemui
I Samindara Baine agar dia mau menerima niat baik I Taro, tapi berkali-kali
pula ditolaknya mentah-mentah. Bahkan meskipun ditawari dengan harta yang dalam
sastra makassar berbunyi:
“Galunga ri
Tambakola,
tallung taunga
nikatto
sitaunga nipare-pare.
(yang bermakna: sebuah warisan sawah yang
cukup luas, membentang dari selatan ke utara, dimana sawah itu dapat di panen
hingga 3 tahun lamanya tanpa habis-habis).
Dan juga tawaran
warisan moyang:
“Takkang-takkang
bulaenna,
Nisungkea namalatto’,
Nisoronga na
mangngudada”
(yang bermakna: sebuah tongkat ajaib yang
terbuat dari emas).
Tapi toh, I samindara Baine tetap pada pendiriannya.
Bahkan dia berkata: “semua tawaran itu, saya juga memilikinya, karena kita
berasal dari keturunan yang sama”.
Cinta di Tolak Dukun
Bertindak
Putus asa dan merasa dipermalukan, I Taro memutuskan
untuk pergi berlayar. Tapi sebelum itu, ia ingin membuat perhitungan terhadap I
Samindara Baine. Ia ingin membalas perlakuannya yang keterlaluan itu. Maka Ia
segera menemui orang pintar (dukun) di kampungnya untuk memuluskan rencananya.
Meskipun cenderung mustahil dan tidak masuk di akal,
persyaratan magic mesti dipenuhi I Taro
agar rencananya berjalan lancar. Syaratnya
adalah Ia harus menemukan sebatang pohon pinang yang tumbuh sendirian dan yang berbuah
satu biji. Disamping itu, jika pohonnya sudah ditemukan, maka pohon pinang
tersebut harus dipanjat membelakang dan buahnya dipetik dengan kuku bagian
belakang. Buahnya tidak boleh jatuh agar daya magicnya tidak pudar. Setelah itu,
buah pinangnya diperlihatkan ke I Samindara Baine agar bisa mempengaruhi
jiwanya.
Maka segera I Taro berkeliling kampung, melintasi beberapa
sungai, mendaki bukit dan menuruni lembah, hanya sekedar mencari sebuah pohon
pinang yang menjadi syarat dari si dukun. Dan walhasil, setelah beberapa hari kemudian,
pohon yang dicarinya ditemukan juga... Setelah memenuhi syarat-syarat panjat
dan cara petiknya, buah pinang berhasil didapat dan dibawa pulang kerumah I
Taro.
Adalah I Unru’ Dae, yang diutus untuk membawa buah pinang
ajaib tersebut ke rumah I Samindara Baine. Sementara I Unru’ Dae sedang dalam
perjalanan, I Taro pun bersiap-siap untuk berangkat berlayar bersama
rekan-rekannya. Ia berangkat membawa malu dan rasa kecewa terhadap I Samindara
Baine, sepupunya yang dicintainya itu.
Di rumah I Samindara, Unru’ Dae baru saja tiba dengan
buah pinang ajaib di tangan. Ia sengaja meminang-minangnya di depan mata I Samindara
untuk mengundang perhatian. Dan ternyata siasat itu berhasil. I Samindara
tertarik dengan buah pinang itu dan ingin mengambilnya. Tanpa berpikir dua
kali, Unru’ Dae segera memberikan pinang itu ke I Samindara dan berpesan, bahwa
kado itu adalah pemberian terakhir I Taro sebelum berangkat berlayar.
Buah Pinang Pembawa
Petaka
Tidak butuh waktu lama, buah pinang ajaib berhasil
merubah pendirian I Samindara Baine. Jiwa kewanitaannya terpengaruhi magic. Dia yang semula begitu tegar
untuk tidak menerima lamaran I Taro, berangsur-angsur luluh berganti rasa ingin
menyatu dengan sepupunya itu. Bahkan dia menangis dan menyesal karena menolak
kehendak suci I Taro. Oleh karena itu, dia tidak rela ketika mendengar bahwa I
Taro akan pergi berlayar.
Dengan rasa bersalah dan cinta yang perlahan-lahan mulai
tumbuh di hatinya, I Samindara bergegas menuju ke rumah sepupunya itu di
dampingi Unru’ Dae. Dia bermaksud melarang kepergian I Taro dan bersedia
menerima lamarannya. Atau setidak-tidaknya, mengajaknya bersama-sama pergi mengarungi
lautan. Tapi malang tak dapat di tolak, rupanya I Taro sudah ada di bibir
pantai, duduk santai di atas perahunya bersama teman-teman setianya, dengan
dayung yang siap untuk di kayuh kemana pun I Taro hendak menuju.
Melihat kenyataan itu, I Samindara Baine nekat. Dia
bergegas ke pantai, berlari semampunya, menyusul I Taro yang perlahan-lahan
sudah mulai bergerak ke laut. Dia sudah tidak peduli dengan rambutnya yang panjang
terurai, kusut bermandi debu. Kaki-kaki jenjangnya yang terawat, bukan
penghalang untuk terus berlari menyusuri jalan setapak mengarah ke pantai. Hingga
ketika dia sampai di bibir pantai, perahu I Taro sudah terlihat mengapung menjauh
dan semakin menjauh.
I Samindara terisak melihat orang yang disusulnya kian
menjauh. Dia berteriak memanggil-manggil, berharap I Taro dapat mendengarnya
dan berbalik menjemputnya untuk bersama-sama mengarungi lautan. Tapi sepertinya
suaranya terlalu lembut untuk di dengar di kejauhan sana.
Maka, Dia memutuskan untuk turun ke pantai, berenang
sekuatnya, bergerak semampunya. Sesekali tangannya melambai ke arah laut,
memanggil-manggil dengan suara yang semakin serak karena tertelan ombak. Hingga
akhirnya I Samindara Baine menghilang. Dia tenggelam. Tenggelam bersama suara
dan harapannya untuk mengarungi lautan bersama I Taro Ana’ Kunjung Barani. Pemuda
malas yang dulu dia kecewakan dan permalukan begitu saja. Barulah beberapa hari
kemudian, tubuhnya yang tak lagi jelita itu, ditemukan oleh seorang nelayan
sedang terbujur kaku di bibir pantai.
Epilog
di pinggir pantai, tepat dirimbunan pohon talas, tubuh I
Samindara Baine terkubur. Dia sudah terbaring dibawah onggokan pasir dan
dedaunan talas yang mulai mengering, sampai I Taro tiba dengan membawa kesedihan
yang begitu dalam. Ia tidak menyangka kalau gadis yang di cintainya akan
melakukan hal yang semacam itu.
I Taro berbalik haluan karena diberitahu oleh seorang
nelayan tentang kematian sepupunya itu. Ia bergegas pulang, karena meskipun
pernah dikecewakan dan merasa dipermalukan, I Samindara Baine tetaplah gadis
pujaan hatinya. Biar bagaimanapun, benih-benih cinta dihatinya masih tertanam
kuat. Apalagi setelah ia tahu bahwa penyebab kematiannya adalah karena ego
kelelakiannya, maka bertambah sedihlah hati I Taro Ana’ Kunjung Barani.
Kesedihan dan cinta itulah, yang membuat I Taro memutuskan
untuk menghunus badiknya. Menghunjam dalam tepat ke jantungnya, hingga ia roboh
diatas pusara I Samindara Baine. Tapi sebelum ia menghembuskan nafas
terakhirnya, ia masih sempat mengucap kata: “O
andikku I Samindara Baine, tatta taua belo-belo bainea, tokeng tallua
anting-anting pimbalia. Bukan pacce dan siri’ semata yang membuatku menyusul
kepergianmu, tapi karena cinta yang masih tersisa yang mengantar aku rela mati
di atas pusaramu. Ri surugapi sallang, napasse’reki Batara…” (sekian).
==========================================
Adakah naskah ceritanya?
BalasHapusAdakah cerita lebih detailnya kak?😢
BalasHapusCerita ini hampir sama dengan....
BalasHapusAda versi Makassar nya dan Full
BalasHapus