Tiap orang punya
kisah cinta, tapi dengan warna dan jalan cerita yang berbeda-beda. Ada yang
awal kisahnya penuh duka dan airmata, tapi endingnya membahagiakan dan penuh
canda tawa. Ada pula yang awalnya bahagia, tapi di akhir kisahnya penuh kemelut
dan problema, sehingga berakhir tragis dan menyedihkan. Hemmmmhh…
Itulah cinta… yang
kadang lebih misterius dan lebih sulit ditebak dari makna dibalik senyuman manis
MONALISA…! Hehehe……
Di sepanjang sejarah
kehidupan manusia, tidak sedikit kisah cinta yang berhasil diabadikan. Baik melalui
tulisan, pahatan patung, prasasti, rekaman gambar, serta melalui situs-situs
lainnya, disamping kisah cinta yang hanya diketahui melalui budaya oral (lisan).
Kisah tersebut mayoritas dilakoni oleh seorang tokoh atau figur yang cukup
memiliki pengaruh pada zamannya. Sebutlah misalnya, kisah cinta antara Romeo dan
Juliet (seorang bangsawan Verona, Italia), Anthony (bangsawan Romawi) dan
Cleopatra (Paraoh cantik dari Mesir), Tristan dan Isolde (putri Raja Irlandia),
dan kisah-kisah lainnya yang cukup banyak kita saksikan, baik di buku-buku
sastra, pementasan drama, maupun di film-film terkenal.
Sejatinya, di belahan
bumi ini, tiap-tiap wilayah dan budaya memiliki catatan kisah cintanya
sendiri-sendiri, yang dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran dan untuk
dipetik hikmah yang terkandung didalamnya. Hanya saja karena keterbatasan media
dan waktu, kisah-kisah tersebut tidak terekspos ke publik sehingga hanya
menjadi konsumsi cerita lokal dimana kisah tersebut terjadi.
Di Sulawesi Selatan, kisah
cinta yang paling tenar karena tertulis dalam naskah klasik I Laga Ligo adalah kisah cintanya I Sawerigading
dengan We Cudai, seorang gadis cantik dari Botting Langi’. Kisah ini terjadi di
tanah Luwu. Tapi selain itu, ada juga satu kisah cinta yang tidak kalah serunya
dengan cerita I Sawerigading. Sebuah kisah yang pernah terjadi di tanah
Makassar, yakni kisah cinta antara Datu Museng dengan Maipa Deapati.
Siapa dia…? Bagaimana
kisahnya…???
Di Makassar, kisah
Datu Museng dan Maipa Deapati ini sering dituturkan secara lisan oleh para
orang tua. Tujuannya agar kita mengambil pelajaran di dalamnya, karena kisah
tersebut penuh intrik perjuangan, keteguhan hati dan tanggungjawab, kesetiaan,
kehormatan dan harga diri, dan tentu saja tragedi cinta yang mengharukan.
Tentu saja… Karena selain
Datu Museng harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan cintanya Maipa
Deapati, seorang gadis jelita yang merupakan Putri Raja Sumbawa. Ia juga harus
berhadapan dengan Pangeran Mangalasa, sepupu Maipa Deapati yang menjadi
tunangannya. Oleh karena itu, atas anjuran sang kakek, Addengareng. Datu Museng
menyeberang ke Tanah Mekah untuk menuntut ilmu.
Kepergian Datu Museng
ke Mekah, tidak membuat cintanya kepada Maipa surut. Bahkan benih-benih cinta
dihatinya malah kian kokoh dan berakar. Oleh karena itu, sepulangnya dari Mekah
dan setelah mendapatkan ilmu “Bunga Ejana Madina”, Datu Museng segera menemui
Maipa yang sedang terbujur sakit. Dengan ilmu yang dimilikinya, Ia berhasil
menyembuhkan penyakit Maipa dan setelah itu, cinta pun bersemi di kedua belah
pihak.
Gelagat buruk ini
memaksa Pangeran Mangalasa meminta bantuan Belanda. Berharap agar Kompeni dapat
membunuh Datu Museng, dan Ia dapat bersatu kembali dengan tunangannya, Maipa
Deapati. Tapi Datu Museng terlalu sakti bagi mereka. Ilmu yang didapatnya di
tanah Mekah membuatnya mampu mengalahkan persekutuan Pangeran Mangalasa dengan
pihak Belanda. Sehingga pada akhirnya, Datu Museng mempersunting Maipa Deapati
tanpa dapat dicegah oleh siapapun juga.
Sekedar dipahami
bahwa, Datu Museng sesungguhnya adalah bahagian dari keluarga Kerajaan Gowa. Ia
menyeberang ke tanah Sumbawa karena ketidakstabilan Gowa akibat politik devide
et impera yang dilancarkan Kompeni Belanda. Pada saat itu, Datu Museng masih
belia. Ia masih kanak-kanak sampai kakeknya, Adengareng, memintanya untuk
menyeberang ke Sumbawa. Menetap disana sampai Ia tumbuh dewasa, dan pada
akhirnya jatuh cinta pada Maipa Deapati, teman mengajinya di Mempewa.
Cerita berlanjut… Beberapa
hari setelah Datu Museng mempersunting Maipa Deapati, Ia mendapat kabar bahwa di
Makassar (tanah kelahirannya) terjadi kegoncangan dan ketidakstabilan politik
akibat adu domba Kompeni Belanda yang kian menjadi-jadi. Oleh karena itu, atas
izin dari mertuanya (Raja Sumbawa), Ia beserta istrinya pulang ke Makassar
untuk membantu Kerajaan Gowa melawan musuhnya-musuhnya.
Tapi masalah lain
muncul. Pimpinan Kompeni terpesona melihat kejelitaan Maipa Deapati. Ia begitu
mengaguminya dan ingin mengambilnya di tangan Datu Museng. Maka, dengan
berbagai macam cara, siang dan malam, dari segala penjuru, pihak Kompeni
bertubi-tubi menyerang Datu Museng. Tapi lagi-lagi, dengan ilmu dan kesaktian
yang dimilikinya, Datu Museng masih bisa bertahan untuk melindungi kekasihnya,
Maipa Deapati.
Hingga pada suatu
ketika… Saat Datu Museng lengah. Pihak kompeni yang tidak mau berhenti melancarkan
serangannya, berhasil menodongkan senjatanya ke arah Datu Museng dari jarak
yang sangat dekat. Menyaksikan itu, jiwa kewanitaan Maipa muncul. Ia tidak rela
suami yang sangat dicintainya mati ditembus peluru Kompeni. Maka dengan mantap
dan penuh keyakinan, Ia menghadang laju peluru sebelum sempat mengenai tubuh
Datu Museng. Walhasil, peluru menembus tubuhnya yang jelita itu. Maipa roboh,
pucat meregang maut.
Tapi sebelum maut
benar-benar menjemputnya, Maipa masih sempat mengucap kata, berbisik di
pangkuan Datu Museng, katanya: “Daengku
Datu Museng, permata hatiku… Takkan ku gentar walau jiwa melayang, kebimbangan telah
kucampakkan… Sebab keyakinan telah kupastikan, perahu kematian siap kutumpangi…
Kemudi telah kukuh di tangan, telah kutetapkan haluan menyongsong tujuan, pada kematian
yang hangat dan menyenangkan…”
Demikianlah… Maipa
telah tiada. Ia tewas dalam pangkuan suaminya. Peluru Kompeni berhasil merobek
tubuh jelitanya, membuatnya bersimbah darah. Tapi kompeni tidak berhasil membunuh
cintanya, Kompeni tidak mampu mengambil kesetiaan, harga diri dan ikrar sucinya
kepada Datu Museng. Ikrar untuk sehidup
semati…‼!
Karena ikrar itu
pulalah yang membuat Datu Museng melepas jimat saktinya, membuang ilmu “kebal”nya,
menyerahkan dirinya kepada pihak Kompeni belanda untuk ditembaki hingga mati…‼!
Kini, Datu Museng
hanya tinggal sebuah cerita. Maipa Deapati pun hanya tinggal sebuah nama. Bagi siapapun
yang ingin mengenangnya, berkunjunglah ke Kota Makassar. Di ujung barat jalan
Datu Museng (sebuah nama jalan pemberian Pemerintah Kota Makassar), disitu
terletak dua buah situs makam bernisan kayu, yang konon adalah makamnya Datu
Museng dan kekasihnya Maipa Deapati.
Sobat blogger…
Mungkin di antara kita
masih ragu atau bahkan tidak percaya sama sekali. Benarkah kisah ini sebuah
fakta sejarah? Atau jangan-jangan ini cerita fiksi yang sengaja dibikin oleh
para tetua kita dahulu, sekedar untuk pengajaran moral dan pengantar tidur bagi
anak-anaknya…!
Bagi saya, terlepas
dari apakah kisah ini fakta atau fiksi, karena memang tidak satupun diantara
kita yang hidup semasa dengan pelakon cerita. Maka kita hanya bisa menilai
bahwa, jika kisah ini adalah benar-benar sebuah fakta sejarah, kita seharusnya patut
berbangga dengan kisah cintanya yang mengharukan itu. Tapi toh andai ini pun sebuah
fiksi, kita patut mengangkat jempol bagi si penutur atau si pencipta cerita,
karena Ia berhasil membangun sebuah cerita yang tidak kalah serunya dengan
kisah-kisah lainnya yang mendunia, dan tetap masih bertahan hingga kini.
Believe or not… yang pasti kebenaran hanya milik Sang
pemilik Kebenaran Mutlak itu sendiri, yakni Allah Azza Wa Jalla…‼! <joe>
Kisah cinta Datu Museng dengan Maipa Deapati sangat layak diangkat ke layar lebar (film). Pasti tidak akan kalah dengan film kisah cinta Habibie-Ainun.
BalasHapusAkhirnya akan di angkat ke layar lebar
BalasHapus