Artikel berikut ini membahas
tentang salah seorang wali tanah Jawa yang kontroversial…
Karena paham
sufistiknya yang cenderung berani dan berseberangan dengan Wali Songo, maka Ia
teralienasi…
Siapa dia? Mari kita
simak tulisan berikut ini…
Selamat membaca…‼!
*******
Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki - yang disebut sebagai - dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik.
Keberadaan Syekh Siti
Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang
tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran
politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali.
Suatu konstelasi yang
sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat
kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya
terleburkan - bahkan sampai hari ini.
Wali Yang Mencemaskan
Dalam ziarah pustaka
ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh
Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995), akan dikutip sebagai pengantar:
“Di antara ketiga empu
tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai
wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai
versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili
penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris
eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya
khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil
untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang
benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan
populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.
“Dalam benak khalayak
ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah
hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah
masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar
diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi
manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima
pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi
manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir
Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa
penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat
“cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu
negeri Demak.
“Selain dosanya
‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan
karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan
kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun
juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu
Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Terdapat berbagai
versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk
dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan
dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah
keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem
yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke
ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali
akhirnya mikraj ke surga.”
Adapun asal nama
Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam
Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah
dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di
dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak
menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati.
Seperti juga telah
sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng”
menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah”
tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng
tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf
dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam
di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi
catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:
“Sudah jelas bahwa
Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh
mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar,
karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat
jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade
pertama abad ke-16).”
Ajaran Tentang Ada
Lantas, ajaran macam
apa sebetulnya yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu
patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga?
Dalam kenyataannya,
buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh
Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan
berpredikat best seller alias laris
manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari
para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu
sendiri.
Untuk menyebut
beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar:
Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar
(2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan
Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf
Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah
karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk
mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan
diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti:
Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin
memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita
mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan
oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:
Kawula dan gusti sudah
ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka.
Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati.
Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya
hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.
Hai Pangeran Bayat,
bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat
dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak
hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu.
Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.
Itu hanya impian yang
sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah
orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa
tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang
kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.
Dalam disertasi
filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti
Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu
tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya
ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai
seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide
mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan
hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”
Bukan Al-Hallaj, Tapi India
Syekh Siti Jenar
begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau
singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu
ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya
tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj
yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah
Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi
di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen
keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika
secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi
saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran
tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.
Namun karena
penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder
berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar
pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai
dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah
impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu
godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian
mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan
dari India.
“Akhirnya, juga
kematian Siti Jenar - menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan
-seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India.
Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas
kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Suksma
semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia
Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar
bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan
suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam
wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang
sedang bertapa.
“Bila akhirnya tokoh
Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj,
maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah
itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”
Setelah menguraikan
konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis
Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang
permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) - itu pun
menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan,
bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik
Al-Hallaj.”
Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok
antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi
yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat
tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang
mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu
pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia
menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di
tengah-tengah orang Jawa.”
Lemah Abang Serba Pinggiran
Dengan konteks pengaruh India dan
bukan Islam dalam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang
terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai
kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak.
Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti
Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak -
yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk
membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ’si bid’ah’
Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah
Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan
empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di
Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang
masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh
Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai
representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang,
mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di
pinggiran?
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!