Berikut ini saya sajikan penjelasan mengenai
perayaan Maulid Nabi Muhammad saw yang saya rangkum dari blog www.muslim.or.id.
Semoga permasalahan yang selalu menjadi polemik setiap tahunnya ini dapat
dipahami secara ilmiah dan juga menyeluruh.
Bagi pihak yang kontra, harap menyimak
penjelasan-penjelasan berikut dengan seksama, hati yang tenang dan pikiran
yang jernih, agar tidak muncul
prasangka-prasangka buruk. Semisal prasangka bahwa melarang perayaan Maulid
adalah mengkafirkan dan menyesatkan setiap orang yang mengikuti perayaan
tersebut. Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Selamat Membaca…‼!
Antara Cinta Rasul
& Peringatan Maulid Nabi SAW
Sebenarnya adakah kaitan antara cinta Rasul
dan perayaan maulid, alias hari kelahiran beliau? Pertanyaan ini mungkin
terdengar aneh bagi mereka yang kerap merayakannya. Bagaimana tidak, sedang
disana dibacakan sejarah hidup beliau, diiringi dengan syair-syair pujian dalam
bahasa Arab untuk beliau (yang dikenal dengan nama burdah), yang kesemuanya tak
lain demi mengenang jasa beliau dan memupuk cinta kita kepadanya…?
Dalam sebuah muktamar negara-negara Islam
sedunia, salah seorang dai kondang dari Arab Saudi yang bernama Dr. Said bin
Misfir Al Qahthani, berjumpa dengan seorang tokoh Islam (syaikh) dari negara
tetangga. Melihat pakaiannya yang khas ala Saudi, Syaikh tadi memulai
pembicaraan (sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh Dr. Said Al Qahthani
ketika berkunjung ke kampus kami, Universitas Islam Madinah dan memberikan
ceramah di sana):
Syaikh: “Assalaamu ‘alaikum…”
Dr. Said: “Wa’alaikumussalaam warahmatullah
wabaraatuh…”
Syaikh: “Nampaknya Anda dari Saudi ya?”
Dr. Said: “Ya, benar.”
Syaikh: “Oo, kalau begitu Anda termasuk
mereka yang tidak cinta kepada Rasul…!”
(kaget bukan kepalang dengan ucapan Syaikh
ini, ia berusaha menahan emosinya sembari bertanya):
Dr. Said: “Lho, mengapa bisa demikian?”
Syaikh: “Ya, sebab seluruh negara di dunia
merayakan maulid Nabi saw kecuali negara Anda; Saudi Arabia… ini bukti bahwa
kalian orang-orang Saudi tidak mencintai Rasulullah saw”
Dr. Said: “Demi Allah… tidak ada satu hal pun
yang menghalangi kami dari merayakan maulid beliau, kecuali karena kecintaan
kami kepadanya!”
Syaikh: “Bagaimana bisa begitu??”
Dr. Said: “Anda bersedia diajak diskusi…?”
Syaikh: “Ya, silakan saja..”
Dr. Said: “Menurut Anda, perayaan Maulid
merupakan ibadah ataukah maksiat?”
Syaikh: “Ibadah tentunya!” (dengan nada
yakin).
Dr. Said: “Baik… apakah ibadah ini diketahui
oleh Rasul saw, ataukah tidak?”
Syaikh: “Tentu beliau tahu akan hal ini!”
Dr. Said: “Jika beliau tahu akan hal ini,
lantas beliau sembunyikan ataukah beliau ajarkan kepada umatnya?”
(…. Sejenak syaikh ini terdiam. Ia sadar
bahwa jika ia mengatakan “ya”, maka pertanyaan berikutnya ialah: Mana dalilnya?
Namun ia juga tidak mungkin mengatakan tidak, sebab konsekuensinya Nabi saw
masih menyembunyikan sebagian ajaran Islam. Akhirnya dengan terpaksa ia
menjawab )
Syaikh: “Iya… beliau ajarkan kepada umatnya…”
Dr. Said: “Bisakah Anda mendatangkan dalil
atas hal ini?”
(Syaikh pun terdiam seribu bahasa… ia tahu
bahwa tidak ada satu dalil pun yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini…)
Syaikh: “Maaf, tidak bisa…”
Dr. Said: “Kalau begitu ia bukan ibadah, tapi
maksiat.”
Syaikh: “Oo tidak, ia bukan ibadah dan bukan
juga maksiat, tapi bidáh hasanah.”
Dr. Said: “Bagaimana Anda bisa menyebutnya
sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasul saw mengatakan bahwa setiap bid’ah itu
sesat?”
Setelah berdialog cukup lama, akhirnya syaikh
tadi mengakui bahwa sikap sahabatnyalah yang benar, dan bahwa maulid Nabi yang
selama ini dirayakan memang tidak berdasar kepada dalil yang shahih sama
sekali.
Ini merupakan sepenggal dialog yang
menggambarkan apa yang ada di benak sebagian kaum muslimin terhadap sikap
sebagian kalangan yang enggan merayakan maulid Nabi saw Dialog singkat di atas
tentunya tidak mewakili sikap seluruh kaum muslimin terhadap mereka yang tidak
mau ikut maulidan. Kami yakin bahwa di sana masih ada orang-orang yang
berpikiran terbuka dan obyektif, yang siap diajak berdiskusi untuk mencapai
kebenaran sesungguhnya tentang hal ini.
Namun demikian, ada juga kalangan yang
bersikap sebaliknya. Menutup mata, telinga, dan fikiran mereka untuk mendengar
argumentasi pihak lain. Karenanya kartu truf terakhir mereka ialah memvonis
pihak lain sebagai ‘wahhabi’ yang selalu dicitrakan sebagai ‘sekte Islam
sempalan’, yang konon diisukan sebagai kelompok yang gampang membid’ahkan,
mengkafirkan, mengingkari karomah para wali, dan sederet tuduhan lainnya.
Cara seperti ini bukanlah hal baru. Sejak
dahulu pun mereka yang tidak senang kepada dakwah tauhid, selalu berusaha
memberikan gelar-gelar buruk kepada para dainya. Tujuannya tak lain ialah agar
masyarakat awam antipati terhadap mereka. Simaklah bagaimana Fir’aun dan
kaumnya menggelari Musa dan Harun ‘alaihimassalam:
(57) Fir’aun mengatakan: “Adakah kamu datang
kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihirmu hai Musa? (58)
Sungguh kami pasti mendatangkan pula kepadamu sihir semacam itu, maka buatlah
suatu waktu untuk pertemuan antara kami dan kamu, yang kami tidak akan
menyalahinya dan tidak pula kamu di suatu tempat yang pertengahan (letaknya).”
(59) Musa menjawab: “Waktu pertemuan itu ialah di hari raya dan hendaklah
manusia dikumpulkan pada waktu dhuha.” (60) Maka Fir’aun meninggalkan (tempat
itu), lalu mengatur tipu dayanya, kemudian dia datang. (61) Musa berkata kepada
mereka: “Celakalah kamu, janganlah kamu mengadakan kedustaan terhadap Allah,
hingga Dia membinasakanmu dengan siksa.” Dan sesungguhnya telah merugi orang
yang mengada-adakan kedustaan. (62) Maka mereka berbantah-bantahan tentang
urusan mereka di antara mereka, dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).
(63) Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir
yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya, dan hendak
melenyapkan kedudukan kalian yang utama…” (Qs. Thaha: 57 – 63)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan
yang nyata, (24) kepada Fir’aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: “Ia
(Musa) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.” (Qs. Ghafir: 23-24).
Simak pula bagaimana kaum Nabi Luth as hendak
mengusir beliau dan para pengikutnya dengan tuduhan ‘orang-orang yang sok
menyucikan diri’: “Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan:
“Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu
orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (Qs. An Naml: 56)
Atau Nabi Shalih as yang dianggap sombong dan
pembohong oleh kaumnya… Allah berfirman: (23) Kaum Tsamud pun telah mendustakan
ancaman-ancaman (itu). (24) Mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja
seorang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau begitu kita
benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila”, (25) Apakah wahyu itu
diturunkan kepadanya -yakni Nabi Shaleh as- di antara kita? Sebenarnya dia
seorang yang amat pendusta lagi sombong.” (26) Kelak mereka akan tahu siapakah
yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong. (Qs. Al Qamar: 23 - 26).
Sampai junjungan kita Rasulullah saw pun tak
luput dari julukan-julukan buruk kaumnya. Allah berfirman: (1) Shaad, demi
al-Qur’an yang mempunyai keagungan (2) Sebenarnya orang-orang kafir itu
(berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. (3) Betapa banyaknya
ummat sebelum mereka yang telah kami binasakan, lau mereka meminta tolong
padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. (4) Dan mereka
heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan
mereka; dan orang-orang kafir berkata: “ini adalah seorang ahli sihir yang
banyak berdusta.” (Qs. Shaad: 1-4).
Jadi, banyaknya tuduhan-tuduhan jelek
terhadap suatu golongan, mestinya tidak menghalangi kita untuk bersikap adil
dan obyektif terhadap mereka. Karena boleh jadi kebenaran justeru berpihak
kepada mereka, dan dalam hal ini yang menjadi patokan adalah dalil-dalil dari
Al Qur’an dan Hadits yang shahih.
Berangkat dari sini, penulis ingin mengajak
para pembaca yang budiman untuk mendudukkan masalah perayaan maulid Nabi,
benarkah ia merupakan bid’ah hasanah? Benarkah ia merupakan perwujudan cinta
kepada Rasul yang dibenarkan? Apakah asal muasal perayaan ini? dan berbagai
masalah lainnya seputar maulid Nabi saw Tentunya semua akan disajikan secara
ilmiah dengan merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan pemahaman As
Salafus shaleh. Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!