Berikut ini saya sajikan penjelasan mengenai
perayaan Maulid Nabi Muhammad saw yang saya rangkum dari blog www.muslim.or.id.
Semoga permasalahan yang selalu menjadi polemik setiap tahunnya ini dapat
dipahami secara ilmiah dan juga menyeluruh.
Bagi pihak yang kontra, harap menyimak
penjelasan-penjelasan berikut dengan seksama, hati yang tenang dan pikiran
yang jernih, agar tidak muncul
prasangka-prasangka buruk. Semisal prasangka bahwa melarang perayaan Maulid
adalah mengkafirkan dan menyesatkan setiap orang yang mengikuti perayaan
tersebut. Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Selamat Membaca…‼!
********
Pembelaan Sebagian
Orang Dalam Masalah Maulid
[Pertama] Maulid adalah bentuk rasa syukur,
pengagungan dan penghormatan pada Nabi saw.
Cukup kami jawab, kalau memang maulid adalah
bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab yang empat
tidak ada yang melakukan perayaan ini?
Apakah keimanan mereka lebih rendah dibanding
orang-orang sekarang yang merayakannya?
Apakah orang ini menyangka lebih mendapat
petunjuk daripada generasi awal tersebut?
Semoga kita dapat merenungkan perkataan para
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut: “Seandainya amalan tersebut baik, tentu
mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap
amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka
menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat
tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11).
Juga kami katakan: “Mengapa ucapan syukur,
penghormatan dan pengagungan pada Nabi saw hanya sekali dalam setahun, hanya
pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal?
Mengagungkan, mencintai beliau saw dan
bersyukur bukan hanya sekali setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan
selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua] Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah
(Bid’ah yang baik).
Perkataan ini muncul karena mereka melihat
para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah
itu sesat.
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam
hadits-hadits Nabi saw tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan
yang dikatakan oleh Nabi saw dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah
sesat.
Perhatikanlah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam berikut: “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw Sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim no. 867).
Ibnu Mas’ud ra. Berkata: “Ikutilah (petunjuk
Nabi saw), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi
kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”(Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al
Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa
para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih).
Abdullah bin ‘Umar ra. berkata: “Setiap
bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al
Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah).
Lihatlah perkataan Nabi saw dan para sahabat.
Kita akan melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada
pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa
‘Umar bin Khattab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan
adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada
bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak
mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar
adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru.
Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak semua
bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami katakan:
Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal
ini ada dalil dari Nabi saw Karena dulu Nabi saw juga melaksanakan shalat
tarawih di awal-awal Ramadhan.
Namun karena takut amalan tersebut dianggap
wajib, maka beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar
dari perbuatan Nabi saw
Sekarang, apa maulid Nabi memiliki dasar dari
beliau saw sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya
tidak sama sekali. Beliau tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula
para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya.
Sehingga maulid tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah.
Yang lebih tepat maulid adalah bid’ah
madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy
yang telah kami sebutkan di atas.
[Ketiga] Niatannya supaya lebih mengenal
sosok Rasulullah saw.
Mungkin ada yang berseloroh, kalau
melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati
agar lebih mengenal sosok Rasulullah saw maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah
atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya.
Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar!
Sungguh ironis, seorang yang mengaku cinta kepada Nabi saw, mengenalinya kok
hanya setahun sekali? Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau
tanggal tertentu.
Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi
dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari
itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat
merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk ke dalam
lingkup tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang dibenci oleh
Rasulullah saw sendiri.
Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran
Nabi Isa melalui natalan. Padahal Nabi saw Bersabda: “Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan
Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits
ini jayid/bagus).
Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi,
namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan? Dan siapa bilang
harus mengenal sosok Nabi saw cuma melalui acara maulid yang hanya diadakan
sekali setahun[?] Bukankah masih ada cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak
tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.
[Keempat] Nabi memperingati hari kelahirannya
dengan berpuasa.
Sebagian beralasan dengan puasa Nabi saw pada
hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti
hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau saw ditanyakan mengenai puasa
pada hari Senin, beliau pun menjawab: “Hari tersebut adalah hari kelahiranku,
hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR.
Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap
Bulannya]).
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas
menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat
dalam berdalil. Lihatlah Nabi saw tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal
kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal
tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih
terdapat perselisihan. Yang beliau saw lakukan adalah puasa pada hari Senin
bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran
Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap
tahun.
Penutup
Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan
Maulid Nabi dengan segala modelnya diklaim sebagai bentuk kebaikan dalam rangka
mentaati dan mencintai Rasulullah saw Justru kebenaran ada pada pihak yang
tidak merayakan Maulid, demi ketaatan pada Nabi saw dalam menjaga kebersihan
ajaran Islam. Bukankah masih banyak sunnah-sunnah Rasul yang masih terbengkalai
dan belum kita sentuh? Sungguh ironis, sekian banyak sunnah dilupakan, bahkan
dilecehkan, sementara bid’ah maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar
dari pengaruh tipu daya para penyeru bid’ah dan kesesatan, yang lebih cenderung
berbuat bid’ah bahkan terkadang tidak memahami sunnah Nabinya.
Terakhir Saudaraku, kami menyinggung masalah
Maulid ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana
disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung bid’ah dan semacamnya. Yang
hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran
dan di atas ajaran Nabi saw yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara
kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi saw sebagaimana yang kami ketahui.
Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami
inginkan pada diri kami. Kami hanya ingin agar umat Islam mengetahui ajaran
Islam yang benar dan mengetahui kekeliruan yang sering terjadi di tengah-tengah
umat. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib: “Aku tidak bermaksud
kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud [11]: 88).
Ingat sekali lagi bahwa cinta Nabi dibuktikan
dengan meneladani dan mencontoh Nabi saw bukan dengan menyelisihi perintah atau
melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!