Berikut ini saya sajikan penjelasan mengenai
perayaan Maulid Nabi Muhammad saw yang saya rangkum dari blog www.muslim.or.id.
Semoga permasalahan yang selalu menjadi polemik setiap tahunnya ini dapat
dipahami secara ilmiah dan juga menyeluruh.
Bagi pihak yang kontra, harap menyimak
penjelasan-penjelasan berikut dengan seksama, hati yang tenang dan pikiran
yang jernih, agar tidak muncul
prasangka-prasangka buruk. Semisal prasangka bahwa melarang perayaan Maulid
adalah mengkafirkan dan menyesatkan setiap orang yang mengikuti perayaan
tersebut. Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Selamat Membaca…‼!
*******
Apa Hukum Merayakan
Maulid Nabi?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
rahimahullah menjawab: Pertama, malam kelahiran Rasul saw tidak diketahui
secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil
penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal
9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka
menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi
latar belakang historis.
Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka
merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk
bagian syariat Allah maka tentunya Nabi saw melakukannya atau beliau sampaikan
kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka
mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kamilah yang menjaganya.”
(QS. Al-Hijr: 9).
Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari
kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya
hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah
diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri
kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan
jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa
oleh Rasul saw maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita
sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan
sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah?
Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan
terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam
agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula
tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang
artinya: “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku
telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3).
Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya
apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan
diajarkan sebelum wafatnya Rasulullah. Dan jika dia bukan bagian dari
kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah
ta’ala berfirman yang artinya: “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian
agama kalian.”
Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini
termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul saw
maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia
ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran
Rasul saw hanya bermaksud mengagungkannya.
Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada
beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi saw
melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah.
Kecintaan kepada Rasul saw adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan
seseorang hingga dia menjadikan Rasul saw sebagai orang yang lebih dicintainya
daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat
manusia.
Demikian pula pengagungan Rasul saw termasuk
perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi saw juga
termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada
syariatnya.
Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi
saw dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul
saw adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah
maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru
yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi
adalah bid’ah dan diharamkan.
Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di
dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan
oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi
dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang
berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul saw sampai-sampai mereka mengangkat
beliau lebih agung daripada Allah swt. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan
sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca
kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun
serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul saw hadir
ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan
yang bodoh.
Bukanlah termasuk tata krama yang baik
berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang
berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang
paling dalam cintanya kepada Rasul saw serta kaum yang lebih hebat dalam
mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala
menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau
dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang
hanya sekedar khayalan semacam ini?
Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi
setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai
kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam
acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan
kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil
Islam, hal. 172-174).
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!