Seperti biasa, setiap malam
tanggal 31 Desember dalam penanggalan Masehi, sebagian besar umat manusia mempersiapkan
diri untuk menyambut moment pergantian tahun. Begitu juga di malam tanggal 31
Desember 2012 ini, maka hampir semua umat manusia di penjuru bumi ini, sibuk
mempersiapkan diri dengan berbagai macam cara dan kondisi demi menyambut moment
pukul 00.00 sebagai tanda berakhirnya tahun 2012 dan di mulainya tahun 2013
Masehi.
Kita bisa menyaksikan
mulai dari kota-kota besar hingga di desa-desa terpencil, sebagian orang sibuk mempersiapkan
kembang api, festival hiburan, miras, dan perlengkapan pendukung lainnya yang
bersifat duniawi. Tapi di tempat lain, sebagian orang malah sibuk berzikir, membaca
Alquran, melantunkan doa-doa pujian, serta segala aktifitas lainnya yang
bersifat ukhrawi.
Lalu, sebenarnya apa
sih Tahun Baru Masehi itu? Kenapa hampir setiap orang rela menguras uang, tenaga,
dan waktu yang cukup banyak, hanya sekedar untuk merayakan moment pergantian
tahun? Bagaimana sejarahnya?
Saya tertarik menulis
tentang ini, karena saya menyaksikan banyak orang yang asyik merayakannya,
tanpa mereka tahu esensi yang sebenarnya dari apa yang mereka rayakan. Mereka hanya
sekedar ikut-ikutan, numpang bersorak ria, begadang semalam suntuk, tanpa
peduli baik buruk dari apa yang mereka lakukan. Bahkan tidak sedikit orang yang
ikut merayakannya adalah orang berpredikat muslim dan tinggal dilingkungan
muslim pula.
Oleh karena itu, berikut
ini saya mencoba menghimpun beberapa tulisan terkait perayaan Tahun Baru yang
saya ambil dari beberapa situs di internet. Selamat menyimak…‼!
***
Sejarah Tahun Baru
Tahun baru adalah
suatu perayaan di mana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan
menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Semua budaya yang mempunyai
kalender tahunan mempunyai perayaan tahun baru. Seperti, budaya Islam namanya
tahun baru Hijriyah, budaya Cina dan Tiongkok namanya Imlek, budaya Jawa
namanya Saka, serta berbagai budaya-budaya lainnya di dunia.
Di Indonesia, tahun barunya
jatuh pada tanggal 1 Januari karena Indonesia mengadopsi kalender Gregorian,
sama seperti mayoritas negara-negara di dunia.
Tahun baru pertama
kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM oleh Julius Caesar, sesaat setelah ia dinobatkan sebagai kaisar
Roma. Ia mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak
abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh
Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar
penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam
penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar
menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1
Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari
ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari
penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum
Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan
namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan
nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Pada tanggal 24
Februari 1582, atas usul dari Dr. Aloysius Lilius dari Napoli-Italia, dan
disetujui oleh Paus Gregorius XIII, kalender Julius dimodifikasi dan diganti
menjadi Kalender Gregorius atau Kalender Gregorian. Itu karena kalender Julius dinilai
kurang akurat, sebab permulaan musim semi (21 Maret) semakin maju sehingga
perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325
tidak tepat lagi. Lalu pada tahun 1582, Kamis-4 Oktober diikuti Jumat-15 Oktober.
Satu tahun dalam
Kalender Julius berlangsung selama 365 hari 6 jam. Tetapi karena revolusi Bumi
hanya berlangsung selama 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik, maka setiap 1
milenium, Kalender Julius kelebihan 7 sampai 8 hari (11 menit 14 detik per
tahun). Masalah ini dipecahkan dengan hari-hari kabisat yang agak berbeda pada
kalender baru ini. Pada kalender Julius, setiap tahun yang bisa dibagi dengan 4
merupakan tahun kabisat. Tetapi pada kalender baru ini, tahun yang bisa dibagi
dengan 100 hanya dianggap sebagai tahun kabisat jika tahun ini juga bisa dibagi
dengan 400. Misalkan tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan tahun kabisat. Tetapi
tahun 1600 dan 2000 merupakan tahun kabisat.
Kalender Gregorian
adalah kalender yang sekarang paling banyak dipakai di Dunia Barat. Penanggalan
tahun kalender ini, berdasarkan tahun Masehi.
Awal tahun Masehi
merujuk kepada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih
karena itu kalender ini dinamakan menurut Yesus atau Masihiyah. Kebalikannya,
istilah Sebelum Masehi (SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut. Sebagian
besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa
merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada
awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8.
Penghitungan kalender ini dimulai oleh seorang biarawan bernama Dionysius
Exiguus (atau "Denis Pendek") dan mula-mula dipergunakan untuk
menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.
Meskipun tahun 1
dianggap sebagai tahun kelahiran Yesus, namun bukti-bukti historis terlalu
sedikit untuk mendukung hal tersebut. Dionysius Exiguus tidak memperhitungkan
tahun 0 serta tahun ketika kaisar Augustus memerintah Kekaisaran Romawi
menggunakan nama Oktavianus. Para ahli menanggali kelahiran Yesus secara
bermacam-macam, dari 18 SM hingga 7 SM.
Sejarawan tidak
mengenal tahun 0, tahun 1 M adalah tahun pertama sistem Masehi dan tepat
setahun sebelumnya adalah tahun 1 SM. Dalam perhitungan sains, khususnya dalam
penanggalan tahun astronomis, hal ini menimbulkan masalah karena tahun Sebelum
Masehi dihitung dengan menggunakan angka 0, maka dari itu terdapat selisih 1 tahun
di antara kedua sistem.
Pro dan Kontra
Dalam Islam, perayaan
Tahun baru ini banyak menuai kontroversi. Sebagian pendapat mengatakan bahwa
perayaan tahun baru itu hukumnya haram, sementara sebagaian lainya mengatakan tidak
haram dan boleh-boleh saja. Keduanya memiliki alasan dan argumen masing-masing
yang dijadikan sebagai landasan pendapatnya. Adapun kedua pendapat tersebut
dapat dirangkum sebagai berikut:
1). Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang
mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, berhujjah dengan beberapa
argumen.
a). Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah
Orang Kafir; Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual
peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau
pun agama lainnya. Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke Eropa, beragam budaya
paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan
malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang
dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa. Walhasil,
perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir.
Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
b). Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang
Kafir; Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun
tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya
malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar
menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk
bagian dari mereka.”
c). Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat;
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan
minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk
menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam
untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran
untuk shalat malam. Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam
adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang
lazim dikerjakan para ahli maksiat.
d). Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah;
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah syariat yang lengkap dan
sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal. Sedangkan fenomena sebagian umat
Islam yang mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan
melakukan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya
malam tahun baru, adalah sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan
oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih. Maka hukumnya bid’ah
bila khusus untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti
qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau
ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar’inya.
2). Pendapat yang
Menghalalkan
Pendapat yang
menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru masehi
tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya.
Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikut-ikutan orang kafir, maka hukumnya
haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti ritual orang kafir, maka tidak ada
larangannya.
Mereka mengambil
perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal. Kenyataannya setiap ada
tanggal merah di kalender karena natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan
sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan
bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, departemen Agama RI dan
institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Apakah liburnya umat
Islam karena hari-hari besar kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar
mereka?
Umumnya kita akan
menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan,
maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya
boleh-boleh saja.
Demikian juga dengan
ikutan perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan
tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian,
tidak mengapa hukumnya.
Adapun kebiasaan
orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan
serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan
maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan
merayakan malam tahun barunya.
Misalnya, umat Islam
memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti
memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan
dan sebagainya.
Demikianlah ringkasan
singkat tentang perbedaan pandangan dari beragam kalangan tentang hukum umat
Islam merayakan malam tahun baru.
3). Jalan Tengah Perbedaan Pendapat
Para ulama dengan
berbagai latar belakang kehidupan, tentunya punya niat baik, yaitu sebisa
mungkin berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, agar umat tidak terperosok ke
jurang kemungkaran.
Salah satu bentuk
polemik tentang masalah perayaan itu adalah ditetapkannya hari libur atau
tanggal merah di hari-hari raya agama lain. Yang jadi perdebatan, apakah bila
kita meliburkan kegiatan sekolah atau kantor pada tanggal 25 Desember itu, kita
sudah dianggap ikut merayakannya?
Sebagian berpendapat
bahwa kalau cuma libur tidak bisa dikatakan sebagai ikut merayakan, lha wong
pemerintah memang meliburkan, ya kita ikut libur saja. Tapi niat di dalam hati
sama sekali tidak untuk merayakannya.
Namun yang lain
menolak, kalau pada tanggal 25 Desember itu umat Islam pakai acara ikut-ikutan
libur, suka tidak suka, sama saja mereka termasuk ikut merayakan hari raya
agama lain. Maka sebagian madrasah dan pesantren memutuskan bahwa pada tanggal
itu tidak libur. Pelajaran tetap berlangsung seperti biasa.
Sekarang begitu juga,
ketika pada tanggal 1 Januari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari libur
nasional, muncul juga perbedaan pendapat. Bolehkah umat Islam ikut libur di
tahun baru? Apakah kalau ikut libur berarti termasuk ikut merayakan hari besar
agama lain?
Lalu muncul lagi
alternatif, dari pada libur diisi dengan acara hura-hura, mengapa tidak diisi
saja dengan kegiatan keagamaan yang bermanfaat, seperti melakukan pengajian,
dzikir atau bahkan qiyamul lail. Anggap saja memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan.
Dan hasilnya sudah
bisa diduga dengan pasti, yaitu akan ada kalangan yang menolak mentah-mentah
kebolehannya. Mereka mengatakan bahwa pengajian, dzikir atau qiyamullaih di
malam tahun baru adalah bid’ah yang diada-adakan, tidak ada contoh dari sunnah
Rasulullah SAW.
Lebih parah lagi, ada
yang bahkan lebih ektrem sampai mengatakan kalau malam tahun baru kita mengadakan
pengajian, dzikir, atau qiyamul lail, bukan sekedar bid’ah tetapi sudah sesat
dan masuk neraka. Wah…
Jadi semua itu nanti
akan kembali kepada paradigma kita dalam memandang, apakah kita akan menjadi
orang yang sangat mutasyaddid, mutadhayyiq, ketat dan terlalu waspada? Ataukah
kita akan menjadi mutasahil, muwassi’, longgar dan tidak terlalu meributkan?
Kedua aliran ini akan terus ada sepanjang zaman,
sebagaimana dahulu di masa shahabat kita juga mengenal dua karakter ini. Yang
mutasyaddid diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan beberapa shahabat
lain, sedang yang muwassa’ diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan
lainnya.<joe>
(Dari berbagai Sumber)