Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri
seorang Nabi atau Rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa
yang mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya.
Pada suatu hari
yang amat panas, Rasulullah saw berjalan menuju kompleks makam Baqi’ Al-Garqad. Pada saat itu,
sekelompok orang berjalan mengikutinya. Ketika mendengar suara sandal,
Rasulullah sadar (kalau ia sedang dibuntuti). Nabi lalu mempersilakan mereka
lebih dahulu.
Ketika mereka
berlalu, tiba-tiba ia memerhatikan dua makam baru yang isinya dua laki-laki.
Nabi berdiri dan bertanya siapa orang yang berada di dalam makam ini? Mereka
menjawab fulan dan fulan. Mereka kembali bertanya kepada
Rasulullah, apa gerangan yang terjadi dengan makam baru itu? Rasulullah
menjawab bahwa salah seorang di antara keduanya dulu tidak bersih kalau ia
membuang air kecil dan yang satunya selalu berjalan menebar adu domba. Lalu
Rasulullah mengambil pelepah daun kurma yang masih basah, sahabat bertanya
untuk apa itu dilakukan? Dijawab oleh Nabi, “Agar
Allah swt meringankan siksaan terhadap keduanya.”
Mereka bertanya
lagi, “Sampai kapan keduanya diazab?”
Dijawab, “Ini hal yang gaib, tidak ada
yang mengetahuinya selain Allah swt. Seandainya hati kalian tidak dilanda
keraguan dan tidak banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang
aku dengar.” (HR Ahmad).
Dalam riwayat lain
dijelaskan, Hanzalah bin Al-Rabi’Al-Usaidi berkata, “Abu Bakar datang kepadaku lalu bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan
dirimu?’ Hanzalah menjawab, ‘Aku
telah menjadi seorang munafik’.
Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, kamu berkata apa?’ Lalu,
aku jawab, ‘Kita berada di samping Nabi
saat Beliau menjelaskan kepada kita tentang surga dan neraka. Saat itu
seolah-olah kita sedang menyaksikan surga dan neraka dengan mata kepala
sendiri. Namun, ketika keluar dari majelis beliau, kita tenggelam dengan urusan
anak istri dan hal-hal lain yang sia-sia, kita banyak lupa’.”
Abu Bakar bertanya,
“Demi Allah sesungguhnya kami pun
mengalami keadaan seperti itu?” Lalu, Abu Bakar berangkat hingga kami masuk
ke ruangan Rasulullah, saat itu aku berkata, “Hanzalah menjadi seorang munafik wahai Rasulullah!”
Beliau bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu, aku jawab, “Kami berada di samping engkau saat engkau
menjelaskan kepada kami tentang neraka dan surga. Saat itu seolah-olah kami
melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami keluar
dari sisimu, kami tenggelam oleh urusan anak, istri, dan hal-hal yang sia-sia,
kami banyak lupa.”
Lalu, Nabi
menjawab, “Demi Zat Yang Maha Menguasai
jiwaku, seandainya kalian terus-menerus mengalami apa yang kalian alami saat
berada di sisiku dan terus menerus berzikir, niscaya para malaikat akan
menyalami kalian di tempat-tempat pembaringan kalian dan di jalan-jalan yang
kalian lalui. Hanya saja wahai hanzalah, itu hanya terjadi sewaktu-waktu.” Beliau
mengulang-ulangi perkataan ini tiga kali. (HR Muslim dan Tirmizi).
Dalam riwayat lain
juga dijelaskan, sebagaimana diceritakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Kitab “Jam’ul Fawaid”. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Usaid bin Hudhair, ketika ia membaca Surah Al-Baqarah di
malam hari, sementara kudanya ditambatkan di sampingnya tiba-tiba kudanya
meronta-ronta.
Ia menenangkan
kudanya hingga tenang lalu melanjutkan bacaannya lagi, kembali kudanya
meronta-ronta kemudian kembali menenangkan lagi. Kejadian ini berulang tiga
kali. Ia juga memperingatkan anaknya bernama Yahya agar menjauhi kudanya agar
tidak disakiti.
Usaid menengadah
langit dan disaksikan ada naungan yang di dalamnya terdapat pelita besar.
Ketika pagi tiba, ia melaporkan kejadian ini kepada Nabi. Nabi berkata,
‘Bacalah terus (Alquran itu) wahai Usaid!’ diulangi tiga kali. Aku juga
menengok ke langit ternyata aku juga menemukan hal yang sama.
Nabi memberikan
komentar, “Itu adalah para malaikat yang mendekati suaramu. Seandainya kamu
terus membaca (Alquran) keesokan paginya manusia akan melihat para malaikat
yang tidak lagi menyembunyikan wujudnya dari mereka.”
Ketiga hadis shahih
di atas mengisyaratkan adanya penyingkapan (kasyaf), yaitu kemampuan seseorang
untuk melihat atau menyaksikan sesuatu yang bersifat gaib, seperti melihat,
mendengar, atau merasakan adanya suasana gaib. Apa yang disaksikan itu berada
di luar kemampuan dan jangkauan akal pikiran manusia normal.
Kasyaf tidak hanya
terjadi pada diri seorang Nabi atau Rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi
manusia biasa yang mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya,
walaupun sudah barang tentu, kapasitas kasyaf tersebut berbeda dengan
penyaksian yang dialami oleh para Nabi atau Rasul.
Kasyaf dapat
diakses oleh siapa saja yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah swt. Hal
itu ditekankan oleh Yusuf ibn Ismail An-Nabhani dalam karya monumentalnya
berjudul “Jami’ Karamat Al-Auliya”.
Dalam kitab yang
memuat biografi 695 wali (di luar wali-wali yang muncul di Asia Tenggara) itu,
terlihat jelas betapa para wali rata-rata memiliki kemampuan untuk menggapai
mukasyafah. Termasuk di dalamnya Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Imam Syafi’i.
Bentuk kasyafnya bermacam-macam. Sesuai kondisi objektif kehidupan para wali
tersebut.
Rasulullah saw juga
pernah menegaskan, “Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak
mengajak kalian untuk banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang
sedang aku dengar.”
Dalam hadis lain,
sebagaimana dinukilkan dari kitab “Ihya
Úlum Al-Din”, Rasulullah berkata, ”Seandainya bukan karena setan yang
menyelimuti kalbu anak cucu Adam maka niscaya mereka akan dengan mudah
menyaksikan para malaikat gentayangan di jagat raya kita.”
Di dalam Alquran
juga ada isyarat yang memungkinkan seseorang memperoleh kasyaf. Ada beberapa
ayat yang mengisyarakatkan demikian. Di antaranya, ayat 37 Surah Qaaf.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan
dia menyaksikannya.”
Ini diperkuat pula
dengan ayat 69 Surah Al-Ankabut. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.”
Namun, Ibnu
Athaillah mengingatkan kepada kita, jangan sampai lebih mengutamakan mencari
kasyaf. Pernyataannya itu seperti termaktub dalam kitab “Hikam”-nya. Ia berkata, “Melihat aib di dalam batin lebih baik
daripada melihat gaib yang tertutup darimu.”
“Boleh jadi Allah
memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib kerajaan-Nya dan menutup kemampuanmu
untuk meneliti rahasia-rahasia hamba-Nya, namun tidak berakhlak dengan sifat
kasih Tuhan, niscaya penglihatannya menjadi fitnah baginya dan menyebabkan
terperosok ke dalam bencana.”
Said Hawwa
berkomentar dalam bukunya yang berjudul “Tarbiyyatuna
Al-Ruhiyyah”. Menurutnya, mengedepankan pesan khusus, jangan sampai kasyaf
yang diperoleh malah menjadi hijab tebal bagi yang bersangkutan.
Pernyataan Said
Hawwa ini sejalan dengan ayat Alquran, “Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari
jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS Al-An’am
[6]:112).
Dalam ayat lain
disempurnakan, “Dan bacakanlah kepada
mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami
(pengetahuan tentang isi Alkitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada
ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah
dia termasuk orang-orang yang sesat.”
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya
Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung pada
dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing
jika kamu menghalaunya di ulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga).” (QS al-A’raaf [7] : 175-177).
Ayat di atas
memungkinkan seseorang yang sudah menggapai kasyaf, namun mendewa-dewakannya
dan menceritakan kemana-mana pengalaman batin tersebut. Jika muncul perasaan
bangga ketika ia mendapatkan pujian dari orang lain maka kasyaf inilah yang
justru akan menjerumuskannya ke bawah. Sebaliknya, ada pendosa besar jatuh ke
bawah tetapi kemudian melenting kembali ke puncak, lantaran bangkitnya
kesadarannya untuk melakukan pertobatan besar, sehingga ia berkeyakinan dosa yang
baru saja dilakukannya adalah dosa terakhir dari seluruh dosa yang pernah
dilakukannya.
Jadi, sebuah contoh
yang kontras; seorang terjun ke dunia kehinaan lantaran takabur dalam menerima
kasyaf. Sebaliknya, seorang pendosa besar lalu insyaf dan tobat, maka ia
memantulkan diri ke atas melampaui tingkatan spiritual sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!