Salah satu
pembahasan yang amat rumit di dalam ilmu filsafat dan ilmu tasawuf ialah
masalah jauhar dan 'aradh. Kesulitannya bukan hanya dari
segi ontologinya yang akan membahas dari sesuatu yang sangat konkret sampai ke
yang Maha Abstrak, melainkan juga kita akan mengabstrakkan yang konkret dan
mengonkretkan yang abstrak. Dalam tulisan ini lebih rumit lagi karena juga akan
dicoba mengungkap perbedaan antara jauhar
dan 'aradh menurut kalangan filsuf
dan menurut kalangan sufi.
Jauhar adalah substansi dari sebuah
wujud yang dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa bantuan wujud lain, seperti
badan, pohon, batu, dan lain sebagainya. Sedangkan, 'aradh adalah accident
yang tidak memiliki substansi wujud tersendiri, tetapi memerlukan wujud lain
untuk mewujudkan dirinya, seperti warna dan bentuk.
Jauhar dan 'aradh menurut para filsuf, merupakan dua struktur entitas yang
berbeda walaupun keduanya sulit untuk dipisahkan. Sedangkan menurut kalangan
sufi, 'aradh dan jauhar bukanlah merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi yang
satu merupakan hakikat dan lainnya merupakan manifestasi, seperti Allah sebagai
hakikat wujud (al-Haqiqah al-Wujud),
kemudian memunculkan manifestasi (madzhar).
Antara hakikat wujud dengan wujud-wujud (a’yan)
yang mewujudkan diri-Nya walaupun keduanya berbeda, tidak bisa dipisahkan satu
sama lain.
Jauhar dan 'aradh adalah dua manifestasi yang mewujudkan diri-Nya. Yang
pertama, (jauhar) manifestasi mampu mewujudkan dirinya sendiri, sedangkan yang
kedua ('aradh) manifestasi yang tidak mampu mewujudkan dirinya, dengan kata
lain ia memerlukan jauhar-jauhar untuk memantulkan keberadaan dirinya sendiri.
Contohnya bendera Indonesia, merah putih tidak mungkin bisa terwujud tanpa ada
bahan kain atau tembok tempat warna merah putih itu menempel. Kain atau tembok
adalah jauhar, sedangkan warna merah
dan putih adalah 'aradh. Contoh lain,
sebuah nama dengan yang dinamai. Nama adalah menempel pada sebuah zat, karena
itu nama disebut jauhar dan zat yang
dinamai disebut 'aradh.
Dalam pandangan
filsafat, kain dan tembok yang dinamai merupakan entitas tersendiri, sedangkan
merah dan putih, dan nama juga merupakan entitas tersendiri. Sedangkan menurut
kalangan sufi, kedua komponen itu bukan merupakan entitas tersendiri, yang
berbeda dan terpisah satu sama lain.
Analoginya, para
filsuf dan teolog menganggap Tuhan dan makhluknya entitas yang berbeda, bahkan
sangat amat berbeda. Satu Tuhan Yang Maha Mulia, yang lainnya makhluk yang
sangat bersahaja dan sederhana. Sedangkan, kalangan sufi menganggap keduanya
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (tauhid). Yang satu merupakan zat,
Haqiqat al-Wujud, yang lainnya
adalah manifestasi (madzhar) dari zat
atau Haqiqat al-Wujud, baik dalam
bentuk jauhar maupun 'aradh.
Dalam pandangan
tasawuf, bisa disimpulkan bahwa perwujudan segala sesuatu (a'yan) merupakan manifestasi 'aradh,
dan 'aradh merupakan manifestasi dari
jauhar, kemudian jauhar manifestasi dari al-Haq (al-Haqiqah
al-Wujud). Dari sinilah sebabnya, mengapa kalangan sufi enggan menyebut
al-Khaliq dan al-makhluq, tetapi lebih suka menyebut istilah al-Haq untuk Tuhan
dan al-khalq untuk makhluk, termasuk manusia. Karena garis demarkasi antara
al-Khaliq dan al-Makhluq sangat tidak jelas. Mungkin yang paling dekat dapat
dijadikan ukuran ialah antara al-A'yan
al-Tsabitah yang sering juga disebut al-A'yan
al- Dakhiliyyah (walaupun ini sebetulnya tidak terlalu tepat) dan al-a'yan al-kharijiyyah (lihat artikel
terdahulu, “Apa Itu al-A’yan
al-Tsabitah”).
Konsep al-Haqiqah al-Wujud ini juga masih
mempunyai pembahasan lebih mikro karena penerapan konsep jauhar dan 'aradh ini
dapat membantu kita untuk memahami Tuhan yang selama ini mungkin amat susah
dipahami. Nabi juga pernah mewanti-wanti kita dengan hadisnya, “Pikirkanlah makhluk
Tuhan, jangan memikirkan zat-Nya.” (Tafakkaru
fi khalq Allah wa la tafakkaru fi dzat Allah).
Ini bukan berarti
Tuhan Maha Kikir, tidak mau memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-Nya, sungguh
itu manusia sebagai makhluk ciptaan paling mulia-Nya, tetapi kata penyair
Jalaluddin Rumi, apalah arti sebuah cangkir untuk menampung samudra. Artinya,
kapasitas memori manusia sangat tidak mampu untuk menampung Zat Yang Maha Besar.
Sekuat apa pun ilmu
pengetahuan, tidak akan pernah sanggup menjelaskan zat Tuhan. Jangankan Tuhan,
kalimat-kalimat Tuhan pun tidak akan pernah mampu dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan, seperti ditegaskan di dalam QS al-Kahfi, sekalipun lautan samudera
bisa dijadikan tinta dan ditambah berkali-kali lagi, tidak akan pernah kita
bisa menjelaskan secara sempurna kalimat Tuhan.
Satu-satunya cara yang
bisa digunakan untuk memahami lebih mendalam kompleksitas Tuhan ialah dengan
menggunakan ma'rifah atau biasa juga disebut hikmah. Hanya saja ma'rifah atau
hikmah tidak semua manusia bisa mengaksesnya. Alquran menegaskan, hanya orang
tertentu yang dikehendaki Tuhan yang mampu mengakses hikmah (yutil hikmah man yasya' wa man yutal hikmah
faqad utiyah khairan katsiran). Sungguh beruntunglah orang yang mendapatkan
hikmah itu.
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!