-->

Apa Itu Huwa La Huwa?

Jufri Daeng Nigga | 10:57 PM | |
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Ada dua kutub pemikiran yang secara tangguh mempertahankan pendapatnya masing-masing. Mereka adalah kelompok mutakallimin atau teolog yang bersiteguh pada kualitas tanzih, yaitu ketakterbandingan Tuhan dengan keseluruhan makhluknya.
Sebaliknya, kelompok para sufi dengan penuh percaya diri mempertahankan kualitas tasybih, yaitu pemikiran yang lebih menekankan aspek keserupaan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka semua merasa didukung oleh ayat dan hadis serta pengamalan para sahabat.
Ibnu Arabi datang dengan menawarkan konsep penggabungan kualitas al-tanzih wa al-tasybih, yang dihimpun dalam suatu pernyataan "Huwa la Huwa", artinya Dia dan bukan Dia. Ungkapan pendek dan sederhana ini mampu mewadahi sebuah ilmu besar dan sekaligus menjembatani ketegangan konseptual antara teolog dan para sufi.
Cara Ibnu Arabi memadukan kedua konsep ini adalah dengan menghubungkan aspek tanzih kepada dzat Tuhan dan konsep tasybih dihubungkan dengan sifat Tuhan. Dilihat dari segi dzat-Nya, Tuhan sama sekali berbeda dengan makhluk-Nya. Ia masuk kategori puncak rahasia (sir al-asrar/sacred of the sacred).
Tuhan tak dapat dibandingkan (incomparability) dengan apa pun dan siapa pun. Kalau dilihat dari segi nama-nama (asma) dan sifat-Nya, Tuhan memiliki keserupaan (comparability) dengan makhluk-Nya. Alam yang secara kebahasaan mempunyai kesamaan dengan ayat yang artinya 'tanda' menginformasikan keberadaan Tuhan.
Alam atau kosmos adalah lokus pengejawantahan diri Tuhan dan sekaligus sebagai lokus penampakan asma dan sifat-sifat Tuhan. Di sinilah kekhususan konsep al-tanzih wa al-tasybih Ibnu Arabi. Ia tidak sependapat dengan para teolog yang lebih menekankan aspek tanzih dan menafikan aspek tasybih.
Sebab bagaimanapun, sulit diingkari secara logika bahwa Tuhan dengan makhluk-Nya seperti alam raya dan manusia tidak bisa dipisahkan dengan manusia. Memisahkan antara keduanya bertentangan dengan nash Alquran seperti, "Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).
Surah lainnya menyebutkan, "Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16). Lalu, ada pula surah yang menyatakan, "Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115).
Walaupun Ibnu Arabi termasuk sufi, dia berbeda dengan sufi-sufi lainnya yang lebih menekankan aspek tasybih dan menafikan aspek tanzih. Karena, menurut dia, bagaimanapun juga dzat Tuhan adalah transenden dan sunyi dari segala aspek ketidaksempurnaan (munazzah).
Ibnu Arabi mengkhawatirkan kalau menafikan aspek tanzih seseorang bisa jatuh ke lembah kemusyrikan karena menduplikasikan Tuhan dengan makhluk-Nya. Dari segi dzat-Nya, Tuhan tidak pernah dan tidak akan pernah diketahui oleh siapa pun. Ia tak dapat dipikirkan dan tak dapat dilukiskan dengan sesuatu apa pun.
Kalaupun ada orang yang menganggap dirinya berhasil mengetahui dan memahami dzat Tuhan pasti itu bukan Tuhan atau Tuhan menurut persepsi yang bersangkutan. Dalam beberapa artikel lalu sudah dijelaskan bagaimana misteri dzat Tuhan dalam berbagai agama. Hampir semua agama berpandangan sama bahwa dzat Tuhan maha misteri.
Pengetahuan tentang dzat Tuhan hanya sejauh yang diberikan-Nya kepada kita lewat asma dan sifat-Nya. Dari sini, Tuhan dapat diketahui melalui kosmos dan perilakunya. Jika Tuhan menyatakan diri-Nya melihat, mendengar, dan mencintai, berarti Tuhan mengejawantahkan diri-Nya pada kosmos. Tuhan berkorespondensi dengan makhluk-Nya.
Seperti diketahui, Tuhan adalah substansi seluruh makhluk (jauhar), maka wujud ke-Dia-an merupakan setiap apa yang melihat, mendengar, dan mencintai. Itulah jauhar-Nya. Jika kita melihat al-khalq (makhluk), sesungguhnya kita melihat Al-Haq (Tuhan). Sebab, Al-Haq mempunyai sifat yang dimiliki al-khalq, yaitu sifat-sifat al-Muhdatsah.
Sebaliknya, al-khalq memiliki sifat-sifat Al-Haq. Ibarat satu mata uang yang mempunyai dua sisi, yaitu sisi tanzih dan sisi tasybih. Tidak mungkin dua sisi tersebut dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya tidak paradoks, melainkan masing-masing mempunyai makna dan fungsi.
Penyatuan antara kedua kualitas ini sesuai asumsi ontologi Ibnu Arabi, yaitu kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Kata Dia (Huwa), yakni Dia yang Maha Dia, bukan selain-Nya. Sedangkan selain-Nya bukan Dia Yang Mahadia (la Huwa). Dengan demikian, "Huwa la Huwa" mempunyai dua aspek.
Aspek pertama (Huwa) dalam bentuk positif, menegaskan tasybih, yaitu keserupaan Tuhan dengan kosmos. Bagian kedua (la Huwa) dalam bentuk negatif, menekankan tanzih, tiadanya keserupaan antara Tuhan dan kosmos. Penjelasan Ibnu Arabi ini hanya bisa dimengerti manakala memahami utuh konsep wahdah al-wujud-nya.
Di dalamnya terdapat konsep keterpaduan dari berbagai hal yang berdiri sendiri (al-jam'u baina al-addat), yang menghubungkan antara ketakterbandingan dan keserupaan antara Yang Satu dan yang banyak, keagungan dan keindahan, dan pembedaan dari Yang Tak Terbedakan.
Ibnu Arabi lebih menekankan aspek Alquran, yang secara harfiah bisa berarti menghimpun (al-qur'), seperti yang dipopulerkan Nabi Muhammad SAW. Bukannya menekankan aspek "al-Furqan", yang secara harfiah berarti membedakan, sebagaimana dipopulerkan Nabi Musa AS.
Perbedaan antara kedua istilah tersebut adalah Alquran mengandung al-Furqan, sedangkan al-Furqan tidak mengandung Alquran. Yang pertama lebih fokus pada prinsip titik temu dan yang kedua lebih pada aspek perbedaan dan negasi. Dalil yang diajukan Ibnu Arabi cukup menarik, yaitu ayat yang juga digunakan teolog dan kaum sufi.
Ia mengutip, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Syura: 11). Potongan ayat pertama (tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) dijadikan dalil oleh ahli tanzih karena menerangkan aspek ketakterbandingkan.
Sedangkan, potongan ayat kedua (Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat) dijadikan dalil oleh ahli tasybih karena lebih menekankan persamaan, yaitu makhluk-Nya juga bisa mendengar dan melihat. Menurut Ibnu Arabi, ayat ini menjadi bukti kualitas tanzih dan tasybih tidak bisa dipisahkan dan dipertentangkan.
Implikasi sosial keagamaan dari konsep penggabungan tanzih dan tasybih ialah keutuhan pribadi Muslim yang berkeseimbangan antara aspek keagungan dan aspek keindahan. Satu sisi, Tuhan transenden, jauh, Maha Kuasa, dan Maha Penghukum, tetapi pada sisi lain Dia juga immanen, dekat, Maha Lembut, dan Maha Penyayang.
Penyatuan konsep tanzih dan tasybih bisa memberikan optimisme kepada para pendosa bahwa sebesar apa pun dosa hamba, pengampunan Tuhan jauh lebih besar.
Sebaliknya, juga memberikan peringatan kepada orang yang merasa baik agar tidak lengah. Sebab, jika yang datang adalah Tuhan Yang Maha Adil, akan berlaku ayat, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihatnya (balasan). Dan, barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihatnya (balasan)." (QS. Al-Zalzalah: 6-7).
Dengan demikian, maksud Huwa la Huwa ialah keutuhan antara tanzih dan tasybih di dalam keyakinan dan perilaku. Ahli tanzih kiranya tidak begitu gampang menyalahkan ahli tasybih, demikian pula sebaliknya. Ahli syariat dan ahli tarekat sama-sama memiliki kemuliaan, namun yang lebih baik ialah mengintegrasikan keduanya.
Seperti yang dipesankan oleh Ibnu Athaillah, "Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih, maka ia zindiq. Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf, maka ia fasik. Barang siapa menggabung keduanya, maka ia mencapai hakikat. Wallahua'lam.

Artikel Lainnya:

Tidak ada komentar:

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ :-? #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!

Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!