Jufri Daeng Nigga;
Dalam literatur Islam, baik klasik maupun kontemporer,
misteri Maryam masih sangat langka dibahas. Kitab-kitab Tafsir pun jarang
menyingkap lebih jauh siapa sesungguhnya Maryam. Padahal di dalam Alquran,
Maryam dijadikan sebagai sebuah nama surah dengan 98 ayat. Maryam lebih banyak
dijelaskan sebagai ibunda Nabi Isa AS—nabi yang lahir tanpa bapak.
Peristiwa hamilnya Maryam tanpa pernah disentuh
laki-laki cenderung diselesaikan dengan menyerahkan kepada kemahakuasaan Allah
SWT, padahal ada sejumlah ayat menyatakan proses dan peran malaikat Jibril,
seperti: “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami
mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk)
manusia yang sempurna. Maryam berkata, “Sesungguhnya aku berlindung daripadamu
kepada Tuhan Yang Mahapemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam:
17-19).
Dalam tulisan ini tidak akan dikaji sudut pandang
biologis Maryam dengan proses dan peran Jibril yang kemudian melahirkan Nabi
Isa, akan tetapi tulisan ini akan mengkaji sudut pandangan esoteris kehadiran
Maryam yang kemudian melahirkan Nabi Isa As.
Dalam pandangan esoteris, Maryam merupakan simbol
orisinalitas kesucian (the original holiness) kebalikannya Hawa yang merupakan
simbol orisinalitas dosa (the original sin). Maryam dan Hawa simbol dari
sepasang karakter feminin. Hawa menjadi simbol kejatuhan anak manusia ke bumi
kehinaan dan Maryam menjadi simbol kenaikan anak manusia ke langit kesucian.
Karena Hawa menggoda suaminya, Adam, maka anak manusia jatuh ke lembah kehinaan
dan karena sang perawan suci Maryam melahirkan Nabi Isa, maka manusia diangkat
kembali ke langit, kampung halaman pertama manusia.
Di dalam tradisi Talmud Babilonia, semacam kitab
tafsir Taurat (Perjanjian Lama), Hawa dinyatakan sebagai penyebab dari segala
sumber kehinaan dan malapetaka kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam Kitab
Eruvin pasal 100 b. Akibat kekeliruan dilakukan Hawa/Maria maka kaum perempuan
dinyatakan menanggung 10 macam kutukan, yaitu:
1. Perempuan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya
Hawa tidak pernah mengalaminya di surga.
2. Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan
mengalami rasa sakit.
3. Perempuan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan
memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan,
dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risi manakala pertumbuhan anak-anaknya
tidak seperti yang diharapkan.
4. Perempuan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
5. Perempuan merasa tidak leluasa bergerak ketika
kandungannya berumur tua.
6. Perempuan merasa sakit pada waktu melahirkan.
7. Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu
laki-laki.
8. Perempuan masih ingin merasakan hubungan seks lebih
lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
9. Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks
terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya.
10.Perempuan lebih
suka tinggal di rumah.
Bandingkan juga dengan Kitab Kejadian [3]: 15, yang
sering dianggap sebagai the protoevangelium: “Dan Aku akan mengadakan
permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu (benihmu) dan
keturunannya (benihnya); keturunannya (benihnya) akan meremukkan kepalamu, dan
engkau akan meremukkan tumitnya.”
Kalangan teolog Kristen sering mempertentangkan atau
memperhadap-hadapkan antara figur Hawa dan Maryam, namun ada juga yang
menganggap Hawa dan Maryam adalah sepasang perawan yang saling melengkapi.
Jika Hawa yang muncul dari Adam menjadi simbol
kejatuhan manusia, maka Maria perawan suci yang melahirkan Nabi Isa adalah
simbol kemenangan dan keterangkatan manusia ke langit atas. Melalui simbol
kesucian dan kasih sayang Maryam, maka manusia akan menguasai dosa yang
diwariskan oleh simbol Hawa, sang pembawa bencana dengan kekuatannya sebagai
penggoda (tempter).
Dalam literatur kekristenan dijelaskan bahwa perempuan
yang dimaksudkan di sini adalah Hawa yang telah tergoda dengan ular atau setan
tersebut, dan akhirnya telah melanggar perintah Tuhan.
Ayat-ayat dalam Alkitab di atas cenderung memojokkan
agama Kristen di mata kaum feminis, namun kaum feminis juga paham bahwa agama
dan produk nilai-nilai kepercayaan luhur tidak selamanya saling menguntungkan
dengan tidak mengindahkan sertifikat.
Wacana Hawa-Maryam seperti ini mengingatkan kita pada
konsep Maya dalam perspektif agama Hindu yang dilukiskan sebagai “Divine
Principle” yang berakar dari ketidakterbatasan Tuhan. Ia adalah “penyebab”
Esensi Ilahiyah memancar keluar dari Diri-Nya ke dalam manifestasi. Maya adalah
Hawa dan juga sekaligus Maryam. Ia merupakan simbol perempuan penggoda
(seductive) tetapi sekaligus dan perempuan membebaskan (pneumatic). Ia
”descendent” (an-nuzuli) tetapi sekaligus “ascendant” (al-su’udi). Ia
mengasingkan (al-fariq) tetapi sekaligus menyatukan kembali (al-jam’).
Ia menghijab agar bisa berjuang memanifestasikan
segala potensialitas Kebaikan Agung (the Supreme Good), tetapi juga
menyingkapkan-Nya, agar ia memanifestasikan kebaikan yang lebih baik.
Berbagai akibat yang lahir dan muncul dari dosa Hawa,
akan tetapi kesucian dan kemuliaan Maryam secara total akan menghapuskan dosa
Hawa. Hawa dalam sudut pandang seperti ini, eksistensi dan puncak keilahian,
tidak akan ada ambiguitas lagi, dan kejahatan (evil) akan menjadi terhapus“.
Pada puncaknya, apa pun selain dari al-Asl al-Ilahi
(the Divine Principle) hanyalah “penampilan”; hanya Al-Haq yang benar-benar
riil, dan maka itu Hawa secara tak terbatas telah dimaafkan dan mendapat
kemenangan dalam Maryam.
Hubungan antara dua aspek feminin ini tidak hanya
sebuah hubungan resiprokal di mana dosa Hawa dalam konteks proyeksi kosmogonis
untuk bergerak ke arah ketiadaan yang menyebabkan Maya terlihat ambigu, tetapi
ambiguitas ini adalah relatif. Ia sama sekali jauh dari kesimetrisan, keadaan
ini tidak akan mengotori Maryam. Bahkan, Maryam akan secara total menghapuskan
dosa Hawa.
Dalam Islam tidak dirinci secara eksplisit fungsi dan
peran Hawa dan Maryam. Kita hanya menemukan dalam Alquran bahwa Hawa adalah
figur personal yang lahir dari badan Adam tanpa ibu. Sedangkan Maryam adalah
figur personal yang lahir dari pasangan lengkap ayah dan ibu lalu ia melahirkan
seorang putra (Nabi Isa AS) yang hanya punya ibu tanpa bapak. Contoh-contoh ini
tentu ada hikmahnya dalam dunia kemanusiaan.
Pengagungan terhadap bunda Maria dalam tradisi Kristen
melampaui kekaguman kelompok agama-agama Abrahamik lainnya, seperti Yahudi dan
Islam. Dalam literatur Kristiani, kesucian dan keperawanan Maria (Maryam)
sangat ditekankan. Ini dapat dipahami karena dalam anggapan mereka, yakin betul
kalau Yesus Kristus adalah anak Bapak (Tuhan).
Kalau dikesankan bunda Maria punya suami atau pernah
bersentuhan dengan laki-laki lain, bisa menggugurkan atau paling tidak
melemahkan kredibilitas Yesus Kristus. Ini mengingatkan kita ketika pada abad
permulaan Islam sangat di tekankan keummian atau kebutahurufan Nabi Muhammad SAW.
Karena begitu ketahuan Muhammad bisa membaca dan bisa
menulis, akan mengurangi kredibilitasnya sebagai Nabi dan kewahyuan Alquran.
Sebagai dampaknya, bisa dijadikan pembenaran anggapan orang-orang kafir ketika
itu bahwa Alquran itu buatan Muhammad SAW.
Maria harus dipertahankan kesucian dan keperawanannya
untuk mempertahankan ketuhanan Yesus Kristus. Serupa, kebutahurufan Nabi
Muhammad harus dipertahankan untuk mempertahankan Alquran sebagai wahyu.
Belakangan, asumsi seperti ini mulai ditinggalkan. Tidak perlu mempertahankan
kesucian Maria dari laki-laki lain demi mempertahankan ketuhanan Yesus Kristus.
Hal yang sama juga terjadi dalam Islam, tidak perlu
mempertahankan kebuta hurufan Nabi Muhammad tanpa menganggapnya buta huruf.
Pendekatan hermeneutika bisa digunakan untuk meng-clear-kan persoalan ini.
Pengagungan terhadap bunda Maria dalam tradisi Kristen
melampaui kekaguman kelompok agama-agama Abrahamik lainnya, seperti Yahudi dan
Islam. Bagir mengutip beberapa sumber yang digambarkan Maria sebagai Mahkota
Kearifan (the Throne of Wisdom) atau Sedes Sapientiae yang sunyi dari
keserupaan dari makhluk manapun.
Ada dua teks yang sangat penting sebagai sumber
inspirasi untuk mengenal Maryam. Kedua teks ini sering dinyanyikan saat
mengikuti misa khusus untuk mengenang bunda Maria. Teks pertama di dalam
Proverbs 8:22-30: “Tuhan telah memiliki aku pada awal pekerjaan-Nya, sebelum
perbuatan-Nya yang dahulu kala. Aku sudah dibangunkan sejak azali, sejak pada
permulaan, sebelum adanya bumi.”
“Pada saat tidak ada kedalaman, aku telah ditampilkan,
sejak belum adanya pancuran yang berisi air. Sebelum gunung-gunung dibangun,
sebelum bukit-bukit, aku telah ditampilkan.”
“Sebelum Dia membuat bumi atau padangpadangnya atau
debu dataran yang pertama. Ketika Dia mempersiapkan langit-langit, aku ada di
sana. Ketika Dia menggariskan lingkaran pada muka kedalaman. Ketika Dia
menetapkan awan-awan di atas, ketika Dia mengukuhkan pancuran ke dalaman,
ketika Dia menentukan batas kepada laut agar tidak akan melanggar titah-Nya, dan
ketika Dia menetapkan dasar-dasar bumi.”
”Pada saat itu, aku ada di sebelah- Nya sebagai
seorang yang telah dibesarkan bersama dengan-Nya; dan aku adalah kesenangan
setiap hari-Nya, senantiasa bergembira di hadapan-Nya.”
Dalam redaksi lain ditemukan di dalam Wisdom of
Solomon [7]:22- 30: “Dia adalah embusan kekuatan Tuhan, dan sebuah pengaruh
murni yang mengalir dari keagungan Tuhan. Dia adalah terangnya cahaya abadi.
Cermin kekuasaan Tuhan yang tidak ternoda, dan image kebaikan-Nya.”
“Dia bisa melakukan apa pun, dan tetap pada dirinya,
dia membuat semuanya menjadi baru. Dia lebih cantik dari matahari, dan lebih
tinggi dari semua bintang-bintang; ketika dibandingkan dengan cahaya, dia telah
ada sebelumnya.”
Kidung-kidung ini sering dinyanyikan di dalam gereja
untuk mengenang bunda Maria. Dalam misa yang diadakan di Eropa, banyak lagi
kidung yang dilagukan tentang ke utamaan bunda Maria. Maria seolah tidak kalah
agungnya dengan Sang Yesus Kristus itu sendiri.
Maryam sering dilukiskan sebagai “the immaculate
conception” dan ia dinyatakan sebagai “Ruang Tuhan yang tidak Punya Ruang”
(Space of the Spaceless God). Sebuah pernyataan yang mengisyaratkan bahwa
“Hanya Sophia yang mengendalikan seluruh sirkuit langit-langit.”
(Ecclesiasticus 24:5).
Kajian tematik (maudhu’i) tentang siapa sesungguhnya
Maryam akan menguak pemahaman tentang hakikat Maryam. Setidaknya, beberapa
kriteria kenabian sudah dimiliki Maryam.
Maria juga dilukiskan sebagai spouse of the Holy
Spirit (pasangan Roh Kudus) dan coredemptress (naik ke surga). Maryam ipso
facto diidentifikasikan dengan the divine Sophia. Ini wajar karena bagaimana
mungkin Maria bisa menjadi lokus inkarnasi jika ia sendiri tidak memiliki
wisdom yang akan diinkarnasi.
Syekh Isa mengisyaratkan bahwa Maria terlihat sangat Ilahi.
Ia mengidentifikasikan beliau dengan uncreated wisdom yang sepertinya telah
menghilangkan kemanusiaan beliau.
Kaum Kristiani harus hati-hati di sini karena
mengilahikan Maria akan menimbulkan problem konseptual lebih lanjut. Kaum
Kristiani tetap menekankan aspek kemanusiaan Maria yang kemudian menjadi lokus
untuk inkarnasi Kristus. Dengan menekankan aspek kemanusiaan Maria maka ia
benar-benar meluarbiasakan Kristus. Maria berada pada posisi Sophia atau Logos
yang mengikarnasi.
Dengan tetap menjadi manusia biasa, Maria sama sekali
tidak bertentangan dengan keilahian (divinity). Malah dengan demikian, Maria
bisa mengisyaratkan diri sebagai perempuan yang salehah, kemudian mendapatkan
kekhususan dari Tuhan.
Maria seperti sengaja menutup dirinya sendiri yang
penuh dengan misteri demi mengemban misi sejati Kristus. Dia tidak perlu
dikenal dan populer, lalu mendekonsentrasikan perhatian umat kepadanya, tidak
pada Kristus. Inilah divine femininity (feminitas Ilahi) yang ditampilkan Bunda
Maria.
Namun, mereka juga seringkali mereferensi kepada St
Luke, ada dua isyarat yang sangat penting tentang hakikat Maryam (haqiqat
Maryamiyyah).
Pertama, dalam keterangan the Annunciation
(pemberitaan): “Dan, malaikat datang kepadanya dan berkata, ‘Ketahuilah, kamu
sangat disenangi, Tuhan bersama dengan kamu, kamu telah dimuliakan (atau
diberkahi) di kalangan perempuan’.” (Luke [1]: 28).
Dan kedua, saat menceritakan pertemuan antara Maryam
dan St Elizabeth, “Dan, Elizabeth telah terpenuhi dengan the Holy Ghost (Roh
Kudus), dan dia telah berbicara dengan suara yang keras dan berkata beliau,
‘Telah dimuliakan kamu di kalangan perempuan dan telah dimuliakan buah dari
rahim kamu’.” (Luke [1]:41-42).
Dalam tradisi Kristen, Maria sudah dipenuhi dengan
berkah Tuhan (“God’s Grace”), tidak ada lagi ruang untuk diisikan dengan dosa.
Maria adalah holiness (kesucian). Maria adalah
kemurnian (the purity), kecantikan (the beauty), kebaikan (the goodness), dan
kerendahan hati (the humility). Maria adalah substansi kosmis dan sekaligus
gambaran mikrokosmis.
Dalam Alquran, pengakuan akan kesucian Maryam juga
ditemukan di sejumlah ayat, antara lain, “Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada
bagiku seorang anak laki-laki sedang tidak pernah seorang manusia pun
menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!
Jibril berkata, ‘Demikianlah. Tuhanmu berfirman, ‘Hal
itu adalah mudah bagi-Ku dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi
manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang
sudah diputuskan.” (QS Maryam [19]: 20-21).
Hanya, dalam tradisi intelektual Islam, Maryam belum
banyak dibahas dan dianalisis secara tuntas dan mendalam sebagaimana halnya
dalam tradisi intelektual Kristen.
Tetapi, ini tidak berarti keberadaan Maryam tertutup
kemungkinan untuk didalami. Banyak ayat dalam beberapa surah dalam Alquran yang
berbicara tentang Maryam.
Sekiranya dilakukan metode tematik (maudhu’i) tentang
siapa sesungguhnya Maryam, maka tidak tertutup kemungkinan kita akan memperoleh
pemahaman mendalam tentang Maryam.
(Oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar)
(Sumber: www.republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!