Barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan mengenali Tuhannya.
Kalangan teolog (mutakallimin) membayangkan
Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri dan mengesampingkan alam dan segala
makhluk-Nya. Zat Tuhan tidak bisa diketahui karena di luar batas cakupan
pemahaman kita (beyond our grasp).
Hadis yang sering dikutip ialah: “Tafakkaru
fi khalq Allah, wala tafakkaru fi Dzat Allah” (Pikirkanlah makhluk Allah dan
jangan memikirkan Zat Allah).
Zat Tuhan sama sekali berbeda dengan
makhluk-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, “Laisa kamitslihi syai’un”
(Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya).” (QS. As-Syura: 11).
Kaitannya dengan sifat-sifat Tuhan
sebagaimana tercantum dalam Al-Asma Al-Husna, yang mempunyai keserupaan dengan
sifat-sifat luhur yang dianjurkan untuk ditiru manusia: Takhallaqu bi akhlaq
Allah (Berakhlaklah dengan akhlak Allah). Bagi teolog, tetap dalam kapasitas Tuhan
yang sama sekali berbeda dan tak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
makhluk-Nya. Dengan demikian, mereka lebih menekankan aspek tanzih, yakni
ketakterbandingan Tuhan.
Para mutakallimin lebih menekankan aspek
transendensi Tuhan. Seolah Tuhan dengan keserba-Maha-an sifat dan zat-Nya
berada jauh dari kesederhanaan manusia dan makhluknya. Manusia berusaha untuk
selalu mendekatkan diri (taqarrub) dengan berbagai persembahan kepada-Nya.
Semakin taat dan patuh seorang hamba terhadap Tuhan-Nya semakin dekat pula
hamba itu, demikian pula sebaliknya.
Berbeda dengan kalangan sufi, yang
menggambarkan substansi Tuhan mempunyai keserupaan (tasybih) dengan
makhluk-Nya. Keserupaan antara esensi Tuhan dan makhluk-Nya merupakan
konsekuensi dan akibat. Tuhan dan makhluk-Nya memiliki hubungan kausalitas.
Makhluk terutama manusia, merupakan lokus
pengejawantahan (majla) dan lokus penampakan (madzhar) nama-nama dan sifat-Nya,
yang sengaja diciptakan dari diri-Nya sendiri. Makhluk Tuhan bagi kalangan sufi
dianggap sebagai jauhar atau aradh yang memanifestasikan substansi Tuhan.
Dengan demikian, wilayah perbatasan antara
Khalik dan makhluk menjadi tidak jelas. Satu sisi tidak bisa dipisahkan karena
satu substansi yang lainnya manifestasi, tetapi pada sisi lain diakui antara
Sang Khalik tidak identik dengan makhluknya, meskipun tidak dapat dipisahkan.
Karena itu, Ibnu Arabi tidak menggunakan istilah Al-Khaliq dan al-makhluk
tetapi Al-Haq dan al-khalq.
Para sufi lebih menekankan aspek imanensi
Tuhan. Tuhan tidak lain adalah Sang Substansi makhluk itu sendiri. Wujud
makhluk berupa alam raya adalah refleksi atau madzhar dari hakikat wujud
(al-Haqiqah al-Wujud).
Antara madzhar dan al-Haqiqah al-Wujud bisa
dianggap sebagai satu kesatuan (tauhid) yang tak terpisahkan, namun sulit juga
di mengerti jika dikatakan antara keduanya identik. Mungkin hubungan ini kurang
tepat disebut dualitas, tetapi polaritas atau dua dimensi komplementer dari
realitas tunggal.
Kalangan teosofi seperti Ibnu Arabi selalu
berusaha mengelaborasi pendapat teolog dan sufi dengan konsep dualitas Ilahi
(the duality of God). Ibarat selembar kertas yang sebelah sisinya berisi
catatan dan sisi sebelahnya kosong.
Sebelah sisi yang kosong itulah disebut
dengan rahasia dari segala rahasia (sir al-asrar) yang oleh kalangan sufi
sering diistilahkan dengan Ahadiyah, sedangkan sisi sebelahnya yang berisi
tulisan disebut dengan Wahidiyah. Ibarat sebuah mata uang, kedua sisinya
berbeda tetapi tetap satu. Penyatuan antara keduanya justru itulah yang hakikat
tauhid.
Sehubungan dengan ini, menarik diperhatikan
apa yang dilukiskan oleh Khwaja Abdullah Anshari (w. 481 H/1089 M), “Tak
seorang pun menegaskan Keesaan Zat Maha Esa, sebab semua orang yang
menegaskan-Nya sesungguhnya mengingkari-Nya. Tauhid orang yang melukiskan-Nya
hanyalah pinjaman, tidak diterima oleh Zat Maha Esa. Membayangkan Tauhid atas
diri-Nya sendiri adalah tauhid yang sesat.”
Dengan menyatakan keserupaan (tasyabuh)
untuk-Nya maka sesungguhnya kita menyatakan keesaan-Nya. Sebaliknya, dengan
menyatakan perbedaan (tanzih) maka kita mengingkari keesaan-Nya dan itu
musyrik. Kebalikan pendapat teolog, menyerupakan Tuhan dengan makhluknya adalah
musyrik.
Yang pasti ialah tidak ada yang lebih
mengenal lebih jelas siapa Tuhan selain diri-Nya. Kita mengenal seolah dua
pengertian Tuhan, yaitu Tuhan hakiki dan Tuhan dalam konsep manusia. Tuhan
hakiki kita tidak bisa men definisikannya. Tuhan yang kita bicarakan sekarang
Tuhan dalam konsep manusia.
Realitas Tuhan jauh di atas realitas manusia.
Zat Yang Mahamutlak tidak bisa ditampung oleh zat yang relatif. Bukan Tuhan
kikir tidak mau memperkenalkan diri-Nya kepada kita, tetapi seperti kata
Jalaluddin Rumi, “Apalah arti sebuah cangkir untuk menampung samudra.”
Memori kita terlalu kecil untuk meng-attach
Zat Yang Mahabesar. Kita tidak mungkin mengenal Tuhan dalam diri-Nya sendiri,
tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui alam raya, yang
dikatakan-Nya sebagai ayat yang harus dibaca bagi mereka yang ingin mengenali
diri-Nya.
Isyarat lain seperti dikatakan Rasulullah,
“Barangsiapa yang mengenali dirinya, maka ia akan mengenali Tuhannya” (man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu). Membaca atau menyadari diri dengan penuh
penghayatan maka kita berpotensi lebih mengenal Diri-Nya. Ini sesuai dengan
ayat Alquran, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri.” (QS. Fushshilat: 53).
Substansi Tuhan dalam konsep manusia teruslah
kita dalami jika kita hendak mendapatkan makna hidup yang sejati. Tuhan sudah
membentangkan referensi dan refleksi bagi orang yang ingin lebih mengenali
Diri-Nya, baik dalam bentuk alam semesta (makrokosmos) maupun yang tersembunyi
di dalam diri (mikrokosmos).
Bacalah dan kenalilah mereka sehingga pada
akhirnya kita akan sampai pada pemahaman siapa sesungguhnya mereka, siapa diri
kita, dan siapa Dia. Siapa Yang Esa dan siapa yang banyak? Subhanallah.
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!