Jufri
Daeng Nigga;
“Aku
pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka
Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.” (Hadits
Qudsi).
Dalam artikel terdahulu telah dibahas alam Jabarut,
suatu alam tertinggi di antara seluruh alam yang ada. Ia sudah masuk ke dalam
tingkatan alam gaib mutlak. Di atas alam ini sudah tidak ada lagi alam, adanya
hanya martabat atau maqam yang tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti
apa pun selain Allah (ma siwa Allah).
Martabat di atas alam Jabarut biasanya disebut dengan
entitas yang tidak berubah (al-A’yan
ats-Tsabitah/immutable entities). Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk dalam
level pembahasan yang tinggi dan tidak banyak ditemukan di dalam buku-buku tasawuf
populer.
Konsep terperinci tentang al-A’yan ats-Tsabitah hanya bisa ditemukan di dalam karya-karya
Ibnu Arabi, seperti di dalam Fushush
al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah
(empat jilid). Selain pembahasannya amat rumit boleh jadi juga tidak menarik,
karena sepintas tidak memberikan manfaat secara instan kepada pencari Tuhan di
level pragmatis.
Namun, justru materi-materi seperti itu amat dibutuhkan
bagi mereka yang menginginkan kedalaman hakikat dan makrifat. Untuk mengenal
Tuhan lebih mendalam memang tidak mudah. Menurut Jalaluddin Rumi, bukan Tuhan
pelit untuk memperkenalkan dirinya, melainkan ”apa arti sebuah gelas untuk
menampung samudra”.
Kapasitas memori akal kita terbatas diumpamakan seperti
gelas untuk memuat ilmu Tuhan yang diumpamakan samudra. Dalam Alquran
dikatakan, "Katakanlah (Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta untuk
(menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai
(penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak
itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109).
Al-A’yan
ats-Tsabitah secara harfiah berarti
entitas-entitas yang tetap (immutable entities). Al-A’yan bentuk jamak dari
'ain berarti entitas dan ats-Tsabitah berarti tetap, tidak berubah-ubah.
Disebut entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan
tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan.
Berbeda dengan level alam yang sudah merupakan
keberadaan konkret atau aktual. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut
entitas tetap karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan. Keberadaan
potensi dan keberadaan aktual di sini tidak bisa disamakan dengan konsep
Platonisme yang juga mengenal dunia ide dan dunia nyata.
Dalam dunia ide Plato hanya merupakan dunia abstrak
yang berada di dalam wilayah ontologis dan masih bersifat potensial.
Sedangkan wujud merupakan manifestasi dari dunia ide,
yang sesungguhnya tidak berbeda dengan dunia ontologi ide, setidaknya antara
keduanya memiliki hubungan simetri.
Wujud potensial dan wujud aktual dalam konsep Al-A’yan ats-Tsabitah tidak mesti harus
sama bahkan mungkin tidak ada hubungannya sama sekali. Meskipun Al-A’yan ats-Tsabitah tidak lagi masuk
kategori "alam", tetapi belum masuk ke dalam pembahasan puncak.
Masih ada pembahasan lebih tinggi lagi yang disebut
level Ahadiyyah dan Wahidiyyah, yang akan dibahas dalam artikel mendatang.
Bahkan, ada segi dari level al-A’yan ini masih dalam kategori maqam Al-Khalq
atau level alam, yang disebut Al-A’yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang
berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung. Disebut Al-A’yan
al-Kharijiyyah karena berada di lingkaran luar dari Al-A’yan ats-Tsabitah.
Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk di level Wahidiyyah
atau apa yang disebut dengan Pengetahuan Tuhan. Al-A’yan ats-Tsabitah masuk ke
dalam level pertama dan utama (the principle level) dan tidak akan pernah
berada di dalam level kedua (the relative level). Keberadaan Al-A’yan ini
merupakan hasil dari proses tajalli pertama (al-tajalli al-awwal) yang biasa
juga disebut dengan emanasi awal (al-faidh al-aqdas).
Proses emanasi berikutnya, yaitu al-faidh al-muqaddas,
melahirkan Al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan
lagi keberadaan potensial. Al-A’yan al-Kharijiyyah inilah yang masuk ke dalam
the relative level.
Dengan kata lain, yang masuk di level aktual atau
relatif hanya manifestasi (madzahir)-nya saja, bukan hakikatnya karena hakikat
Al-A’yan al-Karijiyyah tidak lain adalah
al-A’yan ats-Tsabitah, yang tetap berada di level utama.
Dari sinilah nanti muncul konsep al-Mumtani’at dan
konsep al-Mumkinat. Potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang tidak mungkin
termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut al-Mumtani’at.
Sebaliknya, potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang mungkin atau sudah
termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut
al-Mumkinat.
Dalam level atau konsep al-Mumtani’at tidak mungkin
dijumpai adanya pertentangan dan paradoks antara satu sifat dan sifat lainnya.
Misalnya antara al-Dhahir dan al-Bathin; al-Awwal dan
al-Akhir; serta al-Jalal dan al-Jamal, karena semua itu adalah sifat dari
hakikat ketuhanan yang tidak mungkin berada di dalam level aktual.
Sebagai entitas yang berada di level Wahidiyyat,
Al-A’yan ats-Tsabitah merupakan sesuatu yang tidak terciptakan (uncreatable).
Semua ciptaan (maj’ul) seperti semua jenis alam, termasuk para malaikat, adalah
wujud yang sudah aktual (kharijiyyah), karena itu segala yang diciptakan
(maj’ul) tidak bisa disebut dengan Al-A’yan ats-Tsabitah.
Konsep Al-A’yan ats-Tsabitah mempunyai beberapa
tingkatan. Bermula dari ta’ayyun pertama (al-Ta’ayyun al-Awwal) ialah level
Wahidiyyah yang merupakan manifestasi dari Ahadiyyah. Dari kesadaran diri
Al-Haq di level Ahadiyyah kemudian melahirkan level Wahidiyyah.
Di level inilah dikenal konsep Al-A’yan ats-Tsabitah
yang sebenarnya berbicara banyak tentang form Ilmu Tuhan (Ilmiyyah Al-Haq) yang
biasa juga disebut dengan Al-Shuwwar al-‘Aqliyyah dan form tentang nama-nama
Tuhan (Al-Asma’ Al-Haq). Dengan menguasai konsep Al-A’yan ats-Tsabitah
diharapkan memudahkan kita memahami alam dan diri kemanusiaan kita yang dikenal
sebagai makhluk termulia (ahsan taqwim).
Pengenalan diri secara komprehensif dengan sendirinya
memungkinkan kita memahami Tuhan secara komprehensif pula. Rasulullah pernah
memberikan sugesti kepada kita dengan mengatakan, "Man 'arafa nafsahu
faqad ‘arafa Rabbahu (Barang siapa yang sudah memahami dirinya maka ia sudah
memahami Tuhannya)."
Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan fi’il madhi,
yang mengisyaratkan pada saat manusia sedang memahami dirinya pada saat itu
juga memahami Tuhannya. Jadi, bukan bersifat sequent, memahami diri dulu baru
memahami Tuhan. Semoga Allah SWT memudahkan kita memahami diri untuk memahami
diri-Nya.
(Oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar)
(Sumber: www.republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!