-->

Apa Itu A’yan Tsabitah

Jufri Daeng Nigga | 11:47 PM | |
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم





Jufri Daeng Nigga;
“Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.” (Hadits Qudsi).
Dalam artikel terdahulu telah dibahas alam Jabarut, suatu alam tertinggi di antara seluruh alam yang ada. Ia sudah masuk ke dalam tingkatan alam gaib mutlak. Di atas alam ini sudah tidak ada lagi alam, adanya hanya martabat atau maqam yang tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti apa pun selain Allah (ma siwa Allah).
Martabat di atas alam Jabarut biasanya disebut dengan entitas yang tidak berubah (al-A’yan ats-Tsabitah/immutable entities). Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk dalam level pembahasan yang tinggi dan tidak banyak ditemukan di dalam buku-buku tasawuf populer.
Konsep terperinci tentang al-A’yan ats-Tsabitah hanya bisa ditemukan di dalam karya-karya Ibnu Arabi, seperti di dalam Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah (empat jilid). Selain pembahasannya amat rumit boleh jadi juga tidak menarik, karena sepintas tidak memberikan manfaat secara instan kepada pencari Tuhan di level pragmatis.
Namun, justru materi-materi seperti itu amat dibutuhkan bagi mereka yang menginginkan kedalaman hakikat dan makrifat. Untuk mengenal Tuhan lebih mendalam memang tidak mudah. Menurut Jalaluddin Rumi, bukan Tuhan pelit untuk memperkenalkan dirinya, melainkan ”apa arti sebuah gelas untuk menampung samudra”.
Kapasitas memori akal kita terbatas diumpamakan seperti gelas untuk memuat ilmu Tuhan yang diumpamakan samudra. Dalam Alquran dikatakan, "Katakanlah (Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109).
Al-A’yan ats-Tsabitah secara harfiah berarti entitas-entitas yang tetap (immutable entities). Al-A’yan bentuk jamak dari 'ain berarti entitas dan ats-Tsabitah berarti tetap, tidak berubah-ubah. Disebut entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan.
Berbeda dengan level alam yang sudah merupakan keberadaan konkret atau aktual. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan. Keberadaan potensi dan keberadaan aktual di sini tidak bisa disamakan dengan konsep Platonisme yang juga mengenal dunia ide dan dunia nyata.
Dalam dunia ide Plato hanya merupakan dunia abstrak yang berada di dalam wilayah ontologis dan masih bersifat potensial.
Sedangkan wujud merupakan manifestasi dari dunia ide, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan dunia ontologi ide, setidaknya antara keduanya memiliki hubungan simetri.
Wujud potensial dan wujud aktual dalam konsep Al-A’yan ats-Tsabitah tidak mesti harus sama bahkan mungkin tidak ada hubungannya sama sekali. Meskipun Al-A’yan ats-Tsabitah tidak lagi masuk kategori "alam", tetapi belum masuk ke dalam pembahasan puncak.
Masih ada pembahasan lebih tinggi lagi yang disebut level Ahadiyyah dan Wahidiyyah, yang akan dibahas dalam artikel mendatang. Bahkan, ada segi dari level al-A’yan ini masih dalam kategori maqam Al-Khalq atau level alam, yang disebut Al-A’yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung. Disebut Al-A’yan al-Kharijiyyah karena berada di lingkaran luar dari Al-A’yan ats-Tsabitah.
Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk di level Wahidiyyah atau apa yang disebut dengan Pengetahuan Tuhan. Al-A’yan ats-Tsabitah masuk ke dalam level pertama dan utama (the principle level) dan tidak akan pernah berada di dalam level kedua (the relative level). Keberadaan Al-A’yan ini merupakan hasil dari proses tajalli pertama (al-tajalli al-awwal) yang biasa juga disebut dengan emanasi awal (al-faidh al-aqdas).
Proses emanasi berikutnya, yaitu al-faidh al-muqaddas, melahirkan Al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Al-A’yan al-Kharijiyyah inilah yang masuk ke dalam the relative level.
Dengan kata lain, yang masuk di level aktual atau relatif hanya manifestasi (madzahir)-nya saja, bukan hakikatnya karena hakikat Al-A’yan al-Karijiyyah  tidak lain adalah al-A’yan ats-Tsabitah, yang tetap berada di level utama.
Dari sinilah nanti muncul konsep al-Mumtani’at dan konsep al-Mumkinat. Potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang tidak mungkin termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut al-Mumtani’at. Sebaliknya, potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang mungkin atau sudah termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut al-Mumkinat.
Dalam level atau konsep al-Mumtani’at tidak mungkin dijumpai adanya pertentangan dan paradoks antara satu sifat dan sifat lainnya.
Misalnya antara al-Dhahir dan al-Bathin; al-Awwal dan al-Akhir; serta al-Jalal dan al-Jamal, karena semua itu adalah sifat dari hakikat ketuhanan yang tidak mungkin berada di dalam level aktual.
Sebagai entitas yang berada di level Wahidiyyat, Al-A’yan ats-Tsabitah merupakan sesuatu yang tidak terciptakan (uncreatable). Semua ciptaan (maj’ul) seperti semua jenis alam, termasuk para malaikat, adalah wujud yang sudah aktual (kharijiyyah), karena itu segala yang diciptakan (maj’ul) tidak bisa disebut dengan Al-A’yan ats-Tsabitah.
Konsep Al-A’yan ats-Tsabitah mempunyai beberapa tingkatan. Bermula dari ta’ayyun pertama (al-Ta’ayyun al-Awwal) ialah level Wahidiyyah yang merupakan manifestasi dari Ahadiyyah. Dari kesadaran diri Al-Haq di level Ahadiyyah kemudian melahirkan level Wahidiyyah.
Di level inilah dikenal konsep Al-A’yan ats-Tsabitah yang sebenarnya berbicara banyak tentang form Ilmu Tuhan (Ilmiyyah Al-Haq) yang biasa juga disebut dengan Al-Shuwwar al-‘Aqliyyah dan form tentang nama-nama Tuhan (Al-Asma’ Al-Haq). Dengan menguasai konsep Al-A’yan ats-Tsabitah diharapkan memudahkan kita memahami alam dan diri kemanusiaan kita yang dikenal sebagai makhluk termulia (ahsan taqwim).
Pengenalan diri secara komprehensif dengan sendirinya memungkinkan kita memahami Tuhan secara komprehensif pula. Rasulullah pernah memberikan sugesti kepada kita dengan mengatakan, "Man 'arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barang siapa yang sudah memahami dirinya maka ia sudah memahami Tuhannya)."
Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan fi’il madhi, yang mengisyaratkan pada saat manusia sedang memahami dirinya pada saat itu juga memahami Tuhannya. Jadi, bukan bersifat sequent, memahami diri dulu baru memahami Tuhan. Semoga Allah SWT memudahkan kita memahami diri untuk memahami diri-Nya.

(Oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar)

Tidak ada komentar:

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ :-? #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!

Silahkan berkomentar secara bijak Sobat...!